Pengembalian Aset BPPN 30,4 Persen, Inefisiensi Penyehatan Perbankan Rp 7,1 Triliun


Kompas, Jakarta, 26 Desember 2006 – Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan pengembalian aset ke kas negara atau recovery rate yang diperoleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional mencapai Rp 188,88 triliun atau 30,39 persen dari total target pengembalian uang negara yang dibebankan senilai Rp 621,55 triliun.
Dengan demikian, tingkat pengembalian aset itu oleh BPPN lebih bagus dibandingkan hasil yang diperoleh badan serupa di Thailand dan Korea Selatan.

Siaran pers BPK tentang Hasil Pemeriksaan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) BPPN yang dipublikasikan di Jakarta, Jumat (22/12), menyebutkan, total biaya penyehatan perbankan mencapai Rp 667,13 triliun. BPPN dibebani tugas mengembalikan uang negara senilai Rp 621,55 triliun.

BPK juga melaporkan terdapat ketidakhematan biaya penyehatan bank senilai Rp 7,1 triliun. Meski demikian, kinerja perbankan setelah masuk dalam program penyehatan menunjukkan peningkatan.

BPK memberikan perhatian khusus pada restrukturisasi aset kredit yang dibagi atas tiga kelompok. Pertama, dari 4.264 debitor skala korporasi senilai Rp 416,29 triliun, BPPN telah merestrukturisasi 3.890 debitor senilai Rp 295,23 triliun atau 70,92 persen dari nilai aset pada kelompok ini.

Kedua, dari 1.326 debitor skala komersial senilai Rp 16,81 triliun, yang diserahkelolakan BPPN kepada pihak ketiga, hanya 225 debitur senilai Rp 3,39 triliun atau 29,88 persen yang direstrukturisasi. Ketiga, dari 70.111 debitor skala ritel atau usaha kecil menengah senilai Rp 5,91 triliun, hanya 26.695 debitor senilai Rp 3,67 triliun yang melunasi kewajibannya.

Anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo di Jakarta, Senin kemarin, menyayangkan penyelesaian audit BPK yang sangat terlambat. Audit ini dilakukan atas permintaan Menteri Keuangan melalui surat Nomor S-117/06/2004 tanggal 20 April 2004 atau dua bulan setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004, pada tanggal 27 Februari 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.

Kehilangan momentum

“Idealnya, audit ini selesai tahun 2004. Dengan keterlambatan ini, banyak momentum yang hilang dan tidak ditindaklanjuti,” kata Dradjad.

BPK menyatakan, pemeriksaan LPJ BPPN ini tertunda karena harus menunggu laporan keuangan BPPN per 31 Desember 2003 dan 27 Februari 2004 yang diaudit Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwantorno, Sarwoko, dan Sanjaya atau Erns & Young. Laporan KAP baru terbit tanggal 9 Oktober 2006 dalam bentuk laporan prosedur yang disepakati. BPK perlu waktu sekitar dua bulan untuk mengkaji ulang LPJ BPPN tersebut.

Dradjad mengatakan, tingkat pengembalian aset yang dilaporkan BPK masih rendah karena belum memperhitungkan aset yang diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Selain itu, dalam biaya penyehatan bank Rp 667,13 triliun, terdapat biaya penyehatan bank badan usaha milik negara (BUMN) Rp 286 triliun yang dikelola Kementerian Negara BUMN. Dengan demikian, nilai aset yang diserahkan ke BPPN hanya mencapai Rp 381 triliun. Dengan perhitungan itu, tingkat pengembalian aset BPPN sebenarnya 49,57 persen.

“Hasil audit ini sangat mengagetkan karena penilaiannya banyak yang bagus. Padahal banyak hal yang menimbulkan kontroversi, seperti biaya merger, valuasi aset, dan proses tender. Belum lagi, banyak bank eks BPPN yang diual dengan recovery rate 15 persen, tetapi tidak muncul dalam laporan BPK,” katanya.

Terkait dengan ketidakhematan sebesar Rp 7,1 triliun, Dradjad mengatakan, kondisi itu terjadi akibat kesalahan perhitungan jumlah modal yang harus disuntikkan kepada bank-bank agar memenuhi syarat kecukupan modal minimal atau kesalahan pada saat memperhitungkan kebutuhan biaya merger antarbank.

“Namun, saya harus menghormati kewenangan BPK sebagai auditor negara. Audit itu sudah final dan sah sebagai dokumen negara serta fakta hukum,” katanya lebih lanjut. (OIN)