KSAP, 7 Juli 2005
Tanyakanlah cara berenang kepada bebek, maka sang bebek akan menjawab selancar sirih menjawab pertanyaan bagaimana cara memanjat.
Akan tetapi, bertanya tentang apakah nilai aset di neraca negara Republik Indonesia sebesar Rp1,00 merupakan suatu pengungkapan yang wajar kepada Wakil Presiden Yusuf Kalla, tidakkah akan salah alamat? Seperti tamsil di atas, kau harus percaya kawan, pertanyaan itu tidak salah alamat. Lihatlah betapa wartawan yang menanyakan hal itu dalam konferensi pers seusai acara Peluncuran Standar Akuntansi Pemerintahan di Istana Wakil Presiden Jakarta itu hanya bisa terpana mendengar Wapres menjawab dengan lancar bahwa nilai Rp1,00 itu adalah nilai buku akibat sudah mengalami penyusutan. Telak, terukur, proporsional dan tepat secara teknis.
Pertanyaan lain, yang mencoba mengaitkan relevansi Standar Akuntansi Pemerintahan ini dengan pelaporan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, pun dapat dijawab dengan konseptual oleh sang Wapres. Menurutnya, adanya standar pada dasarnya merupakan alat untuk memfasilitasi pelaporan yang semakin transparan dan akuntabel. Jadi tentu termasuk pelaporan realisasi dana yang terpakai untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh itu, misalnya.
Terus terang hanya orang yang melek akuntansi lah yang bisa memberi jawaban seperti itu. Dan kemelekan itulah yang didemonstrasikan Wapres sesaat sebelumnya, ketika ia memberi pidato peluncuran Standar Akuntansi Pemerintahan. Ringkasan pidato tanpa teks itu jelas terngiang, ”Seminggu setelah saya menjabat, hal pertama yang saya tanya adalah berapa uang negara ini yang tersedia? Saya panggil Menteri Keuangan dan kemudian Pak Mulia Nasution menerangkannya kepada saya. Kesan saya, belum ada suatu sistem akuntansi yang dapat menyajikan data keuangan tersebut dengan sistematis. Tanpa adanya suatu standar akuntansi maka negara ini berarti dikelola tak ubahnya seperti mengelola toko-toko yang hanya mencatat transaksinya dengan menumpuk bon-bon transaksinya.”
Detik itu juga banyak orang mestinya takjub. Orang ini benar-benar tahu masalah bisnis. Paling tidak, ketika Anwar Nasution tak mampu mencegah diri untuk mengangguk-anggukkan kepala, pastilah itu bukti dari persetujuan kenyataan itu. Bahwa Wapres ini, Raja bisnis otomotif dari Makassar ini, adalah manajer kampiun yang telah makan asam garam mengelola duit.
Akan tetapi itu belum sepenuhnya menggambarkan kebijaksanaannya. Kematangan telah pula melesapkan rasionalisme dalam dirinya ketika akhirnya ia menegaskan kembali apa yang diungkapkan dalam laporan Ketua Komite Konsultatif Standar Akuntansi Pemerintahan, Mulia P. Nasution, bahwa memiliki standar bukanlah segalanya, karena yang terpenting adalah menerapkannya.
Rupanya semua orang sedang bijak-bijaknya pada kesempatan peluncuran SAP yang dihadiri oleh puluhan petinggi Departemen seperti Menteri Kesehatan dan Menteri Perencanaan, petinggi Lembaga Pemerintahan Non Departemen seperti Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, para Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia itu. Termasuk yang bijak tersebut adalah Anwar Nasution, komandan Badan Pemeriksa Keuangan yang dalam kesempatan konferesi pers dengan plastis mengamini pentingnya penerapan SAP dengan menyatakan ”Al Quran itu baik isinya, tapi yang penting orang-orang mengamalkannya!”
Begitulah, Standar Akuntansi Pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 tersebut telah resmi diluncurkan. Penyerahan simbolik buku SAP itu kepada Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Bupati Toli-toli dan Walikota Pangkal Pinang, jelas menggarisbawahi amanat Wapres bahwa SAP ini harus diterapkan oleh semua instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Mestinya tidak ada pertanyaan lagi. Akan tetapi, rupanya masih ada wartawan yang ingin menguji arti penting SAP ini dibandingkan dengan standar akuntansi komersial. Apa boleh buat, untuk pertanyaan seteknis ini, seorang Mulia P. Nasution langsung diminta oleh Menteri Keuangan untuk turun gunung menjawabnya. Seperti biasa, dengan tenang, terukur, dan tak lupa diawali dengan senyum, Direktur Jenderal Perbendaharaan ini menerangkan bahwa SAP memang diperlukan karena ia memang disusun khusus untuk entitas pemerintah yang tidak seperti entitas komersial, tidak bersifat mencari laba sehingga cakupan transaksi dan tujuan pencatatan dan pelaporan yang perlu difasilitasi oleh standar akuntansinya pun menjadi berbeda.
Matahari masih sepenggalan tingginya, ketika pada pagi cerah tanggal 6 Juli 2005 itu akhirnya para petinggi Departemen, LPND, dan para kepala daerah membawa buku SAP berwana biru yang diikat dengan pita biru-perak itu pulang ke masing-masing kantornya. Sesungguhnyalah, secara fisik dan ide, buku SAP berpita itu adalah kado. Kado buat negara ini, yang sudah 60 tahun merdeka baru sekarang mempunyai Standar Akuntansi. Kado untuk para penyelenggara pembukuan pemerintahan agar memiliki panduan pasti bagaimana caranya menyusun Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan dengan berbasis kas bagi pencatatan pendapatan dan belanja dan berbasis akrual untuk mencatat aset dan utang. Kado bagi Badan Pemeriksa Keuangan agar dapat lebih pasti dalam menilai kewajaran atas Laporan Keuangan Pemerintah.
Lantas siapa yang diterimakasihi atas kado spektakular ini? Mungkin tidak akan ada yang akan tunjuk tangan, karena ketika makna Standar Akuntansi Pemerintahan ini digantungkan pada penerapan, maka yang harus diberi terima kasih pada akhirnya adalah kita yang semua yang berniat baik: menyelenggarakan administrasi keuangan negara secara lebih transparan dan akuntabel demi menunjang pencapaian kinerja pemerintahan dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak akan cukup satu atau dua orang pahlawan untuk tugas seberat itu.
Jadi, jangan-jangan rasa terima kasih ini sebaiknya dijelmakan dalam harapan semoga siapa pun yang telah bersusah payah menggagas, menuliskan draf, membahaskannya kepada sebanyak mungkin kalangan demi memenuhi ’due process’, masih akan terus terpanggil untuk mengawal penerapan SAP ini dengan menyiapkan berbagai bahan-bahan bagi sosialisasi dan bahkan jika diperlukan sampai pada asistensinya kelak. Dan memang, harapan seperti itulah yang mungkin lebih dibutuhkan dua puluh lima orang anggota Kelompok Kerja dan sembilan orang anggota Komite Kerja yang telah menyatukan hari-harinya, pikirannya, tenaganya, komitmennya, dan pasti pengorbanan lainnya dalam dua tahun belakangan ini di dalam Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.
Jalan panjang menuju penerapan SAP ini masih panjang. Dalam pimpinan seorang Ketua Komite Kerja seperti Binsar H. Simanjuntak, yang gagah perkasa itu, Komite Standar Akuntansi Pemerintahan mudah-mudahan masih akan tetap mampu mengemban berbagai harapan di atas. Kerja keras sudah dilakukan. Tinggallah lagi doa yang harus dilafazkan. Semoga Tuhan memberkati setiap orang yang berkehendak baik demi membangun negeri Indonesia yang transparan dan akuntabel. (avd/mjk)