Good Public Governance


jan_hoesada_201308Laporan Telaah Dr. Jan Hoesada, C.P.A.

Pendahuluan

Bagi sebagian Kementerian Negara/Lembaga, dan Pemerintah Daerah, tahun 2014 adalah tahun gawat darurat penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan. Maka muncul pertanyaan, bagaimana hampiran penerapan yang paling efektif? Jawabannya adalah dengan menerapkan Good Public Governance (GPG) niscaya implementasi PP 71/2010 tersebut menjadi jauh lebih mudah.

Gagasan tentang Good Corporate Governance telah melanda dunia, disusul pemopuleran istilah good governance. Good Corporate Governance (GCG) mempunyai Good Public Governance (GPG) sebagai pasangan hidup, keduanya berinteraksi dan saling mempengaruhi. GPG merupakan hampiran spiritual penyelenggaraan organisasi sektor publik seperti pemerintahan, partai politik, yayasan, koperasi, rumah sakit nirlaba, dan lain-lain. Pedoman GPG berorientasi pada penyelenggaraan kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Pemeriksaan Keuangan Negara, PP 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan, dan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan bertujuan menegakkan Good Public Governance (GPG). Sedikit sekali lembaga pemerintahan dan  masyarakat memperbincangkan, apalagi merujuk kepada cetak biru GPG.

Selama beberapa tahun terakhir terlihat kebangkitan profesionalisme, GPG pada berbagai lembaga negara seperti BPKP, Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Pajak di Kementerian Keuangan, dan banyak lagi.

Good Public Governance

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) di Indonesia menerbitkan Pedoman Umum GCG Indonesia tahun 1999, lalu menerbitkan Pedoman Umum Good Public Governance (GPG) tahun 2008 yang bertujuan meningkatkan daya saing cq country rating, mendorong laju pertumbuhan ekonomi cq daya tarik investasi.

Dalam kata sambutannya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia menyatakan bahwa Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel. GPG pada dasarnya mengatur pola hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat, antara penyelenggara negara dan lembaga negara, serta antar lembaga negara. Penerapaan GPG mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perwujudan Good Corporate Governance dalam dunia usaha. Sinergi diantara GPG dan GCG diharapkan dapat menciptakan kepemerintahan yang bersih dan berwibawa, yang pada gilirannya mampu meningkatkan GCG sektor swasta, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Pada tataran kepemerintahan, pelaksanaan GPG terutama sangat penting melalui penegakan kepatuhan terhadap hukum sehingga dapat dicegah terjadinya praktik suap, korupsi, dan sejenisnya. Secara khusus Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyatakan bahwa GPG wajib dilaksanakan oleh para penyelenggara negara di setiap lembaga negara, baik di ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga di lembaga-lembaga non struktural. Untuk menciptakan sistem birokrasi yang baik, pemerintah telah mengambil langkah-langkah agar good governance diterapkan di lingkungan pemerintahan, khususnya dalam penyelenggarakan pelayanan publik. Upaya pemerintah – sebagai lembaga eksekutif – tersebut tentunya akan memperoleh hasil yang optimum apabila didukung pula oleh penerapan good governance di lembaga-lembaga legislatif dan pengawasan serta yudikatif.

Kata sambutan Ketua Komite GPG menyatakan bahwa secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktik good governance.

Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka.

Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat penyelenggara negara, pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Ketiga, praktik good governance adalah praktik penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktik penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, budaya hukum, dan akuntabilitas publik.

Pedoman GPG tidak akan bermanfaat apabila tidak ada rasa memiliki dan keterlibatan yang dihayati oleh semua pemangku kepentingan. Salah satu langkah strategis adalah dengan menyelenggarakan workshop tentang GPG yang melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dalam proses penyusunan pedoman untuk membangun komitmen dalam menjalankannya. Pada forum ini Komite Nasional Kebijakan Governance dapat menerima masukan akhir serta meyakinkan para pemangku kepentingan agar Pedoman ini dapat diterima sebagai milik kita bersama, untuk secara konsisten dilaksanakan. Pedoman Umum  Good Public Governance  dirancang dan disusun oleh dan untuk para pemangku kepentingan, dimulai dengan mengumpulkan referensi baik dari dalam maupun luar negeri, mengikuti format Panduan Umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance. Proses penyusunan dilakukan secara amat berhati-hati, melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Konsep yang telah disempurnakan disebarluaskan melalui situs www.knkg-indonesia.com dan disampaikan kepada para pemangku kepentingan. Setelah itu, dilakukan lokakarya untuk memperoleh masukan apakah konsep pedoman tersebut perlu disempurnakan lebih lanjut sehingga dapat diaplikasikan. Konsep yang telah disempurnakan atas dasar masukan dari lokakarya, disampaikan kepada lembaga-lembaga Internasional dan lembaga-lembaga yang mendalami governance untuk memperoleh pendapat. Setelah Tim Kerja meyakini bahwa konsep Pedoman Umum GPG telah menampung aspirasi dari pemangku kepentingan dan dapat diaplikasikan, rapat pleno KNKG menetapkan konsep dimaksud sebagai pedoman. Selanjutnya KNKG meluncurkan Pedoman Umum GPG kepada masyarakat sebagai awal dari sosialisasi.

Pedoman Umum Good Public Governance (GPG) merupakan acuan bagi lembaga-lembaga negara untuk melaksanakan GPG dalam rangka mendorong efektivitas  penyelenggaraan negara  yang didasarkan pada asas demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum serta kewajaran dan kesetaraan, mendorong terlaksananya fungsi legislatif dan pengawasan, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga non struktural sesuai dengan tugas dan wewenangnya dengan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, mendorong penyelenggara negara untuk meningkatkan kompetensi dan integritas yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab untuk memajukan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan memertimbangkan hak asasi dan kewajiban warga negara, meningkatkan daya saing yang sehat dan tinggi bagi Indonesia baik secara regional maupun internasional, dengan cara menciptakan pasar bagi Indonesia yang inovatif dan efisien sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

Pedoman Umum GPG memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan yang merupakan standar minimal bagi semua lembaga negara dan penyelenggara negara serta jajarannya. Berdasarkan pedoman tersebut, masing-masing lembaga negara diharapkan menyusun manual seperti sistem perbendaharaan negara yang lebih operasional dan diinternalisasikan kepada seluruh jajarannya. Pedoman diwajibkan berlaku oleh Menteri bagi semua lembaga negara, baik di ranah legislatif dan pengawasan, eksekutif, yudikatif maupun lembaga non-struktural. Pedoman hendaknya digunakan juga sebagai acuan dalam menyusun dan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik seperti Standar Akuntansi Pemerintahan dan pertanggungjawaban Laporan Keuangan oleh Presiden kepada DPR. Karena itu, GPG amat baik diterapkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.

Dalam upaya menciptakan situasi kondusif untuk melaksanakan GPG diperlukan tiga pilar, yaitu negara, dunia usaha, dan masyarakat. Negara harus merumuskan dan menerapkan GPG sebagai pedoman dasar dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Negara berkewajiban untuk menciptakan situasi kondusif yang memungkinkan penyelenggara negara dan jajarannya melaksanakan tugasnya dengan baik. Dunia usaha harus merumuskan dan menerapkan GCG dalam melakukan usahanya sehingga dapat meningkatkan produktivitas nasional. Dunia usaha berkewajiban untuk berpartisipasi aktif memberikan masukan dalam perumusan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang bertalian dengan sektor usahanya. Masyarakat harus melakukan pengendalian/pengawasan sosial secara efektif terhadap pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang negara. Masyarakat berkewajiban untuk berpartisipasi aktif memberikan masukan dalam perumusan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik. Pemerintah perlu membantu masyarakat harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan kontrol sosial secara sehat dan bertanggung jawab, meningkatkan konsolidasi sumber daya agar dapat memberikan kontribusi secara optimal.

GPG mewajibkan pemerintah menyusun peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berorientasi pada pelayanan dan perlindungan kepentingan masyarakat dan dunia usaha atas dasar prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), melakukan proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang didasari pada kajian yang mendalam serta melibatkan masyarakat dan atau dunia usaha, melakukan penyebarluasan/diseminasi/sosialisasi terhadap perundang-undangan dan kebijakan publik yang telah ditetapkan, menciptakan sistem sosial politik yang sehat dan terbuka untuk mewujudkan penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi serta meningkatkan kemampuan warga negara dalam berdemokrasi melalui pendidikan sosial politik, memastikan agar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyelenggara negara mematuhi dan memberdayakan sistem hukum nasional, menerapkan etika penyelenggara negara secara konsisten dan mencegah tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), mengupayakan kesejahteraan yang memadai serta menyediakan sarana dan prasarana bagi penyelenggara negara dan jajarannya untuk memungkinkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangannya dengan baik.

Untuk meningkatkan ketahanan ekonomi nasional, dunia usaha perlu melaksanakan usaha secara sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan serta meningkatkan kesempatan kerja, membangun sistem yang dapat memastikan perusahaan mematuhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik serta melaksanakan good corporate governance secara konsisten, melaksanakan etika bisnis secara konsisten termasuk mencegah dan menghilangkan perilaku koruptif, kolusif, dan nepotisme, melakukan kajian yang mendalam terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berdampak terhadap usahanya, memberi masukan secara aktif kepada pemerintah dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik baik langsung maupun tidak langsung.

Masyarakat wajib meningkatkan  pengetahuan  dan  kemampuan untuk dapat   melaksanakan kondali sosial secara sehat dan bertanggung jawab, meningkatkan konsolidasi sumber daya agar dapat menata dan menciptakan sistem dan organisasi masyarakat yang sehat, mencegah dan menghilangkan sikap dan perilaku koruptif, kolusif, dan nepotisme, melakukan pengendalian sosial terhadap pelaksanaan GPG, memberi masukan secara aktif dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik, baik langsung maupun tidak langsung, memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik, serta melaksanakan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab dalam pemilihan penyelenggara negara.

Asas GPG adalah demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum, kewajaran, dan kesetaraan. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok yaitu partisipasi, pengakuan adanya perbedaan pendapat, dan perwujudan kepentingan umum. Asas demokrasi harus diterapkan baik dalam proses memilih dan dipilih sebagai penyelenggara negara maupun dalam proses penyelenggaraan negara yang mencakup pemilihan penyelenggara negara oleh rakyat dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan kesadaran dan pemahaman politik masyarakat, pemilihan penyelenggara negara oleh penyelenggara negara yang dipilih oleh rakyat, dilakukan atas dasar kepentingan negara dan masyarakat, penyelenggara negara harus mampu mendengar, memilah, memilih, dan menyalurkan aspirasi rakyat dengan berpegang pada kepentingan negara dan masyarakat, penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dan dunia usaha secara bertanggung jawab (rule-making rules), peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik harus disusun dalam rangka mewujudkan kepentingan umum, dan penyelenggara negara harus menerapkan prinsip partisipasi dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Asas tranparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat dan dunia usaha terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara obyektif. Untuk itu, diperlukan penyediaan informasi melalui sistem informasi dan dokumentasi yang dapat diakses dengan mudah tentang pola perumusan dan isi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik serta pelaksanaannya oleh masing-masing lembaga negara. Transparansi juga diperlukan dalam rangka penyusunan dan penggunaan anggaran. Asas transparansi ini tidak mengurangi kewajiban lembaga negara serta penyelenggara negara untuk merahasiakan kepentingan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus menolak memberikan informasi yang berkaitan dengan keselamatan negara, hak-hak pribadi dan rahasia jabatan yang mencakup kondisi bahwa lembaga negara harus menyediakan informasi proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik agar masyarakat dan dunia usaha dapat berpartisipasi dalam proses penyusunannya, lembaga negara harus mengumumkan secara terbuka peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik agar pemangku kepentingan dapat memahami dan melaksanakannya, lembaga negara harus menyediakan informasi yang mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat dan dunia usaha mengenai proses penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik serta pelaksanaannya, lembaga negara juga harus menyediakan informasi mengenai penyusunan rencana strategis, program kerja dan anggaran serta pelaksanaannya, dan kelengkapan penyediaan informasi oleh lembaga negara dinilai dan diawasi oleh masyarakat sebagai bagian dari kendali sosial.

Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi kepemerintahan dan cara mempertanggungjawabkannya. Akuntabilitas diperlukan agar setiap lembaga negara dan penyelenggara negara melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab. Untuk itu, setiap penyelenggara negara harus melaksanakan tugasnya secara jujur dan terukur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berlaku serta menghindarkan penyalahgunaan wewenang, mencakup berbagai hal seperti bahwa lembaga negara harus menetapkan rincian fungsi, tugas serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing penyelenggara negara yang selaras dengan visi, misi dan tujuan lembaga negara yang bersangkutan, lembaga negara maupun individu penyelenggara negara harus memiliki ukuran kinerja serta memastikan tercapainya kinerja tersebut, dalam rangka mempertanggungjawabkan kinerjanya, setiap penyelenggara negara harus melaksanakan tugasnya secara jujur serta memenuhi prinsip akuntabilitas baik yang terkait dengan kepatuhan terhadap hukum, proses pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan maupun penyusunan dan pelaksanaan program, pertanggungjawaban harus disampaikan secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, masing-masing lembaga negara harus memastikan adanya periode waktu pertanggungjawaban, lembaga negara harus menindak-lanjuti setiap keluhan atau pengaduan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan yang disertai identitas pengadu, mengenai kekurangan penyelenggaraan pelayanan kepada publik. Untuk itu, lembaga negara harus menyusun tata cara pengelolaan keluhan dan pengaduan berdasarkan prinsip penyelesaian yang cepat, tuntas dan transparan, lembaga negara harus melakukan evaluasi terhadap kinerja setiap penyelenggara negara secara berkala, dan pertanggungjawaban lembaga negara dan penyelenggara negara diawasi oleh masyarakat dan lembaga yang diberikan wewenang melakukan pengawasan.

Salah satu puncak GPG adalah pelaksanaan PP 71 Tahun 2010. Pada tataran akuntansi pemerintahan, akuntabilitas dibuktikan antara lain dengan pembuatan LK kepemerintahan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan, disajikan secara tepat waktu, dilengkapi opini audit  berderajat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Inilah puncak idaman GPG dalam akuntansi pemerintahan.

Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement) secara tegas tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan kesadaran. Budaya Hukum harus dibangun agar lembaga negara dan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada keyakinan untuk berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, setiap lembaga negara dan penyelenggara negara berkewajiban untuk membangun sistem dan budaya hukum secara berkelanjutan baik dalam proses penyusunan dan penetapan perundang-undangan serta kebijakan publik maupun dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik harus dilakukan atas dasar kepentingan umum dan dilaksanakan secara konsekuen, mencakup penyusunan serta penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik harus dilakukan secara terkoordinasi, dengan mengedepankan asas-asas transparansi, akuntabilitas dan perlindungan hak asasi manusia. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik harus mengandung nilai-nilai yang mendukung terwujudnya supremasi hukum demi terciptanya kepastian hukum bagi dunia usaha dan masyarakat. Dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik, setiap penyelenggara negara harus menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional, jujur dan taat asas, sehingga terhindar dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Lembaga negara harus memastikan berfungsinya lembaga hukum, sumber daya manusia dan perangkat hukum agar menjamin terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Sanksi terhadap pelanggaran perundang-undangan dan kebijakan publik harus dilaksanakan secara taat asas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur keadilan dan kejujuran sehingga dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan secara bertanggung jawab. Kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk dapat mewujudkan pola kerja lembaga negara dan penyelenggara negara yang lebih adil dan bertanggung jawab. Kewajaran dan kesetaraan juga diperlukan agar pemangku kepentingan dan masyarakat menjadi lebih mentaati hukum dan dihindari terjadinya benturan kepentingan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, lembaga negara dan penyelenggara negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat dan memberikan pelayanan berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan, yang mencakup berbagai pedoman pelaksanaan seperti bahwa setiap lembaga negara yang memiliki wewenang untuk menetapkan dan atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik harus mengutamakan dan melindungi hak-hak masyarakat dengan berbasis kewajaran dan kesetaraan. Untuk melaksanakan pelayanan kepada publik dengan berbasis kewajaran dan kesetaraan, lembaga negara beserta perangkatnya harus menerapkan standar pelayanan yang berkualitas, yang disusun sesuai dengan sifat dan jenis pelayanan yang diselenggarakan dengan memerhatikan lingkungan, kepentingan dan masukan dari masyarakat. Pelaksanaan standar pelayanan yang berkualitas oleh lembaga negara dan penyelenggara negara diawasi masyarakat serta lembaga yang diberikan wewenang melakukan pengawasan, bahwa setiap lembaga negara harus menerapkan kebijakan rekrutmen dan karier penyelenggara negara serta pegawai dan prajurit dalam lingkungannya, atas dasar kewajaran dan kesetaraan, tanpa membedakan agama, suku, kelompok, dan golongan yang bersangkutan. Nilai-nilai yang menjadi pegangan moral penyelenggara negara, pegawai dan prajurit adalah integritas, profesionalisme, mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara serta berwawasan kedepan. Integritas bermakna bahwa dalam berpikir, berkata, dan berperilaku selalu didasari oleh kejujuran, keadilan, dan disiplin.

Profesional berarti berkomitmen untuk menyelesaikan tugasnya secara tuntas dan akurat atas dasar kompetensi yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara. Bekerja atas dasar semangat untuk melayani kepentingan masyarakat dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, berwawasan kedepan, berarti berpikir kedepan untuk selalu menyempurnakan prestasi yang sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara. Etika penyelenggara negara mencakup perilaku individu, perlindungan terhadap harta milik negara, penyelenggaraan negara serta kepentingan pribadi. Untuk itu, setiap lembaga negara harus menyusun pedoman etika penyelenggaraan negara bagi jajarannya, yang mencakup perilaku individu, perlindungan harta negara, kehati-hatian penyelenggaraan negara, kepentingan negara diatas kepentingan pribadi. Pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, pelaksanaan wewenang serta hak dan kewajiban dalam pengungkapan tindakan penyimpangan (whistleblower).

Berdasarkan fungsinya, penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh tiga ranah (domain) yaitu legislatif dan pengawasan, eksekutif serta yudikatif. Dalam perkembangannya, disamping ketiga fungsi tersebut terdapat lembaga-lembaga non struktural yang dapat pula dikategorikan sebagai bagian dari penyelenggaraan negara.

Ranah Legislatif dan Pengawasan terdiri atas Majelis Permusyawaratan dalam konteks Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Ranah Eksekutif terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Sentral. Pemerintah Pusat meliputi Presiden dan Wakil Presiden, Kementerian, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pemerintah Daerah meliputi Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Pemerintah Daerah Kota. Bank Sentral adalah Bank Indonesia.

Ranah Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) beserta-Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Agama, serta Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ranah Lembaga Non Struktural terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, PPATK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anak, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional Perempuan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Penanggulangan Kemiskinan, Dewan Ketahanan Pangan, Dewan Gula dan lain-lain.

Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran

Dapat diunduh dari situs KNKG (www.governance-indonesia.org) yang pada intinya berisi:

Pedoman sistem Pelaporan Pelanggaran – SPP (Whistleblowing System – WBS). Tujuan dari pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS). Panduan ini sifatnya generik, sehingga suatu organisasi bisa mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan masing-masing.

Manfaat Whistleblowing System

Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, WBS merupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka WBS dapat menjadi ancaman.

Ikhstisar Whistleblowing System

Apakah “pelaporan pelanggaran” (whistleblowing) itu?

Pelaporan pelanggaran (Whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential). Pengungkapan harus dilakukan dengan itikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan pemerintahan tertentu (grievance) ataupun didasari kehendak buruk/fitnah.

Undang-Undang dan Peraturan Terkait

Peraturan perundangan terkait di Indonesia

Indonesia memiliki beberapa peraturan perundangan yang secara parsial menangani pelaporan pelanggaran dan perlindungan pelapor, antara lain:

  1. UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Pasal 9;
  2. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 31 dan Pasal 41 ayat (2) butir e;
  3. UU No.15 Tahun 2002 jo. UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 39 s/d 43;
  4. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf l dan Pasal 158 ayat (1) huruf i;
  5. UU No.7 tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Section 33 UNCAC;
  6. UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 ayat 1;
  7. PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6;
  8. PP No.57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang; dan
  9. Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelaporan dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perbuatan yang dapat dilaporkan (pelanggaran) adalah perbuatan yang dalam pandangan pelapor dengan itikad baik antara lain: korupsi; kecurangan; ketidakjujuran; perbuatan melanggar hukum (termasuk pencurian, penggunaan kekerasan terhadap karyawan atau pimpinan, pemerasan, penggunaan narkoba, pelecehan, perbuatan criminal lainnya); pelanggaran ketentuan perpajakan, atau peraturan perundang-undangan lainnya (lingkungan hidup, mark-up, under invoice, ketenagakerjaan, dll); pelanggaran Pedoman Etika Pemerintahan atau pelanggaran norma-norma kesopanan pada umumnya; perbuatan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja, atau membahayakan keamanan pemerintah; perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian financial atau non-financial terhadap perusahaan atau merugikan kepentingan pemerintah; pelanggaran prosedur operasi standar (SOP) perusahaan, terutama terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pemberian manfaat remunerasi.

Struktur Pengelolaan Sistem Pelaporan Pelanggaran

Untuk organisasi nirlaba, bila akan menyusun struktur pengelolaan WBS, perlu mengacu pada peraturan perundangan terkait (misalnya UU tentang Yayasan) dan anggaran dasar organisasi nirlaba tersebut. Begitu juga halnya dengan lembaga pemerintahan.

Penutup

Pada tataran akuntansi pemerintahan, PP 71 Tahun 2010 akan terlaksana dengan lebih lancar dan baik hanya apabila berlandas GPG. Dalam rangka penerapan GPG, setiap lembaga negara harus menyusun pedoman GPG dengan mengacu pada Pedoman Umum GPG. Pedoman GPG bagi masing-masing lembaga negara tersebut mencakup sekurang-kurangnya memuat visi, misi dan nilai-nilai lembaga negara yang bersangkutan. Kedudukan dan fungsi lembaga negara, pimpinan dan organ pengawasan internal, kebijakan untuk memastikan terlaksananya fungsi organ setiap lembaga negara secara efektif, kebijakan untuk memastikan terlaksananya akuntabilitas, pengendalian internal yang efektif serta pelaporan keuangan dan kinerja, pedoman perilaku yang didasari nilai-nilai lembaga negara dan etika penyelenggaraan negara, sarana pengungkapan informasi   untuk pemangku kepentingan dan kebijakan penyempurnaan berbagai peraturan lembaga negara yang bersangkutan dalam rangka memenuhi asas GPG.

Agar pedoman GPG dapat diterapkan dengan baik diperlukan adanya penyelenggara negara yang mendukung dan menciptakan suasana agar GPG tidak hanya merupakan pedoman diatas kertas tetapi dilaksanakan dengan baik, penyelenggara negara yang berperilaku sebagai teladan dan melakukan sosialisasi pedoman GPG bagi seluruh jajarannya, serta sanksi yang konsekuen terhadap pelanggaran nilai-nilai, etika dan pedoman perilaku penyelenggara negara dan jajarannya.

Dapat dikatakan tak ada risiko potensial akan whistle blowing pada LK Pemerintahan, KSAP menyediakan help desk dan berupaya menanggapi surat masuk dari publik dengan sebaik-baiknya.