RISIKO FISKAL PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH


 

Dr. Jan Hoesada, CPA

2PENDAHULUAN

Makalah merupakan timbangan buku Risiko Fiskal Daerah, dengan Editor Drs. Freddy R. Saragih, M.P.Acc., dari berbagai penulis, diterbitkan PT ERA ADICITRA INERMEDIA (2013), tanpa kutipan kalimat, ditambah berbagai analisis dan pandangan pribadi pemakalah.

Sebelas bulan era kepemerintahan Presiden Habibie antara lain menghasilkan UU otonomi Daerah No. 22/1999 dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah No.25/1999, adalah dasar dari manajemen risiko fiskal pemerintah pusat dan daerah.Makalah memberi tekanan khusus pada risiko fiskal daerah.

Sebuah desentralisasi terencana, terprogram dan dilaksanakan dengan baik menghasilkan peningkatan keadilan, transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi birokrasi, meningkatkan pelayanan publik, mengakselerasi pembangunan daerah dan mengurangi tingkat kemiskinan. Big bang desentralisasi fiskal terjadi pada tahun 2001 bertujuan menghapus bagian sentralisasi kekuasaan yang bersifat otokrasi dan tidak perlu, memperkuat basis perekonomian NKRI melalui pemberdayaan & penguatan daerah otonom, dan mempercepat proses pemulihan NKRI setiap paska resesi global.

Secara nasional, prioritas pembangunan daerah NKRI terdapat pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah adalah peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, daya beli masyarakat, kemandirian pangan, energi dan air bersih, peningkatan kinerja aparatur pemda, infrastruktur daerah, kemampuan menangani bencana dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup, pembangunan desa, budaya dan destinasi wisata.

Kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasuki era implementasi UU tersebut di atas, menghadapi berbagai masalah seperti pemekaran kebablasan dan DOB, masalah pendewasaan karbitan pertanggungjawaban kepemerintahan daerah cq pendewasaan segera pertanggungjawaban keuangan daerah, pelimpahan 31 wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, rakyat daerah dan partai politik pengusung calon kepala daerah, masalah peningkatan alokasi APBN, pengendalian dana sektoral oleh Banggar DPR RI, formula transfer APBN kedaerah yang tidak dapat disesuaikan dengan kenaikan harga minyak bumi dunia, penurunan harga komoditas ekspor, perubahan nilai tukar, inflasi, bencana alam dan krisis global. Pada awal tahun 2015, Pemerintahan Presiden Jokowi menghadapi tambahan permasalahan seperti pemerataan prasarana daerah, pembangunan tol laut lintas daerah otonom, pemilukada dan pertanggungjawaban fiskal desa. Namun beberapa risiko fiskal telah dipilih saat kampanye Pilpres 2014, misalnya semua kubu menyatakan janji alokasi APBN bagi 72.000 desa. Presiden terpilih bermaksud membangun desa sebagai ujung tombak pembangunan NKRI, basis pemerataan kemakmuran dan mengangkat seorang Menteri Desa.

Risiko fiskal adalah tekanan fiskal berkemungkinan besar terjadi pada masa yang akan datang, berbentuk suatu kemungkinan besar atau suatu potensi bahwa (1) tujuan pemerintah tidak tercapai akibat penurunan kesehatan fiskal, (2) perubahan APBN/D, dan (3) potensi defisit APBN/D akibat faktor-faktor-faktor internal dalam kendali pemerintah dan/atau faktor-faktor eksternal di luar kendali pemerintah, yang menyebabkan tambahan belanja di luar anggaran dan/atau kekurangan realisasi pendapatan.

Manajemen risiko fiskal mencakupi penetapan konteks risiko, identifikasi risiko, evaluasi risiko, penanganan risiko tujuan bangsa tidak tercapai dan/atau risiko APBN/D semakin defisit. Penanganan risiko fiskal mencakupi perencanaan manajemen, pengarahan atau instruksi pelaksanaan dalam mengelola risiko, koordinasi, komunikasi, konsultasi, pemantauan, telaah lanjutan hasil mitigasi risiko fiskal. Koordinasi dapat berbentuk combined risk management berbagai K/L, Pemerintah Daerah, direktorat, bagian, satuan kerja atau subbagian organisasi dan/atau koordinasi dengan petugas asurans luar organisasi pemerintah tersebut, misalnya BPKP, PPATK, BPK dan KPK.

Konteks risiko fiskal adalah masyarakat yang terimbas bencana ketidaksehatan fiskal umumnya (yang disebut dampak fiskal atau dampak buruk fiskal), kesejahteraan masyarakat khususnya, risiko layanan umum tidak memuaskan karena keterbatasan fiskal, dan risiko penurunan daya saing bangsa atau suatu daerah gara-gara kelemahan manajemen fiskal.

Tingkat risiko adalah kombinasi dampak (besar, penting, signifikan) fiskal dan probabilitas terjadi jenis risiko fiskal tersebut.

Evaluasi risiko fiskal dilakukan dengan membandingkan kenyataan risiko dengan tolok ukur risiko atau kriteria risiko.

Penanganan risiko fiskal adalah segala perencanaan, strategi & aksi pencegahan atau mitigasi risiko fiskal pada umumnya, upaya menutup senjang risiko fiskal pada khususnya.

Senjang adalah perbedaan atau rumpang antara tolok ukur risiko dan fakta atau kenyataan tentang risiko di lapangan.

Risk appetite, ketidaksadaran akan bahaya, buta risiko, tidak peka risiko, optimisme berlebih, rasa percaya diri berlebih (memandang enteng risiko, meremehkan risiko, mengabaikan risiko) dan keberanian menghadapi ledakan risiko bila menjadi kenyataan pahit, menjadi fokus utama dari manajemen risiko fiskal.

Risiko APBN berimbas ke APBD, sebaliknya risiko APBD secara parsial dan kumulatif berimbas kepada APBN.

Risiko fiskal mencakupi pula alokasi APBN yang terealisasi antara lain berbentuk pelebaran ketimpangan antar daerah, memperlebar ketimpangan Indonesia bagian Timur dan Barat, memperbesar senjang kelompok miskin dan kaya, alokasi APBN tidak terfokus kepada penggalian dan pembangunan potensi unik tiap daerah otonom, karena rancang bangun orientasi spasial dan enam koridor pembangunan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan pembangunan Indonesia (MP3EI) tidak dirumuskan secara berkualitas.

Kemampuan fiskal daerah otonom diproksi oleh kepemimpinan daerah dalam membangun PDB daerah. Secara empiris ditemukan bahwa senjang antar wilayah ternyata (justru) makin besar setelah memasuki era desentalisasi fiskal. Secara empiris DAU lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah ketimbang bentuk dana alokasi yang lain, namun DAU tidak mampu mencipta pemerataan pembangunan dan kemakmuran antar wilayah. Bagi hasil pajak dan bukan pajak berpengaruh negatif kepada pertumbuhan ekonomi.

 

PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) sebagai suborganisasi Badan Kebijakan Fiskalyang didirikan dalam Kementerian Keuangan pada tahun 2006, pada intinya adalahuntuk mengelola risiko ekonomi makro, risiko utang pemerintah pusat, risiko kewajiban kontinjensi pemerintah, risiko pengeluaran negara bersifat wajib yang berpotensi menyebabkan (1) risiko tujuan negara tak tercapai akibat kelemahan manajemen fiskal dan (2) anggaran defisit.

Sesuai Pasal 1706 Kepmenkeu 466/KMK.01/2006, PPRF sebagai risk management unit bertugas membuat analisis, evaluasi, rekomendasi, melakukan pengelolaan risiko ekonomi global, BUMN dan memberi dukungan kepada pemerintah.

Manajemen fiskal daerah dimulai dengan terbitnya UU 18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, namun tak berjalan efektif pada masa orde baru. Manajemen risiko fiskal mengalami perubahan mendasar tatkala NKRI sampai pada awal era reformasi, demokratisasi & otonomi daerah, bermuara pada desentralisasi fiskal versi UU 25/1999 dan UU 33/2004. Karena desentralisasi fiskal tersebut, maka tanggungjawab fiskal dan hubungan fiskal pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengalami perubahan mendasar. Apabila risiko fiskal pada orde baru dibangun berdasar trilogi pembangunan – yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas – menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 %, berbagai kabinet setelah orde baru seharusnya berkinerja pertumbuhan ekonomi lebih baik.

UU 25 Tahun 1999 mengatur bahwa perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakupi sistem pembiayaan NKRI sebagai sebuah negara kesatuan berbentuk pembagian keuangan pusat dan daerah, pemerataan proporsional antar daerah berbasis potensi daerah, kondisi daerah dan kebutuhan daerah, secara demokratis, adil dan transparan. Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah otonom berbasis APBD, bersumber dari PAD, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan sah, serta dana perimbangan. Dana perimbangan adalah bagian daerah atas PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Penerimaan dari Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Pemerintah Daerah dapat memperoleh Dana Darurat dari APBN, dapat menggunakan dana pinjaman dalam negeri secara langsung melalui persetujuan DPRD, serta dapat memperoleh pinjaman LN melalui pemerintah pusat.

Risiko fiskal tiap negara berbeda-beda, demikian pula risiko fiskal tiap pemerintah daerah. Tingkat risiko adalah kombinasi antara dampak fiskal dengan probabilitas terjadi jenis risiko fiskal tersebut. Dampak fiskal dapat masif, besar, signifikan, strategis, berpengaruh dalam jangka yang panjang Pemerintah Daerah dan/atau bagi NKRI, atau sebaliknya.

 

RISIKO FISKAL PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Risiko fiskal pemerintah pusat dan daerah adalah

  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak bermaksud menggunakan wewenang merencanakan defisit fiskal, secara nasional selalu diupayakan agar (1) anggaran selalu berimbang, defisit anggaran APBN & APBD tidak lebih besar dari 3 % PDB NKRI, dan (2) nisbah utang pemerintah pusat dan daerah tidak lebih besar dari 60 % PDB NKRI.
  2. Risiko defisit anggaran daerah melebihi batas defisit direncanakan, misalnya rencana defisit APBD dibatasi sebesar 6 % dari perkiraan pendapatan daerah. Risiko defisit berbagai APBD melebihi batas rencana defisit akan berisiko menular menjadi defisit APBN. Risiko defisit anggaran pusat dan daerah menimbulkan risiko kewajiban mencari pinjaman penutup defisit, risiko penerbitan surat utang negara, obligasi pemerintah pusat dan obligasi daerah.
  3. Risiko pertumbuhan DAK karena pertambahan bidang baru aloksasi DAK dan risiko kesalahan atau ketidakadilan alokasi. Pada tahun 2005, alokasi DAK bertujuan mendanai 8 bidang pembangunan yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan & perikanan, air bersih dan pertanian. Tahun 2006 menjadi 9 bidang karena tambahan bidang lingkungan hidup, tahun 2008 ditambah bidang keluarga berencana dan kehutanan, tahun 2009 ditambah bidang perdagangan dan sarana & prasarana pedesaan, tahun 2010 bertambah dengan bidang sanitasi, tahun 2011 ditambah lima bidang yaitu listrik pedesaan, perumahan dan pemukiman, keselamatan transportasi pedesaan, sarana dan prasarana perbatasan. Alokasi DAK terbesar pada Provinsi Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara, sedang alokasi DAK terendah pada DKI, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Gorontalo, dan Bali. Dengan demikian alokasi DAK mencakupi
    • Bidang pendidikan
    • Bidang kesehatan
    • Bidang jalan
    • Bidang irigasi
    • Bidang prasarana pemerintahan
    • Bidang kelautan & perikanan
    • Bidang air bersih
    • Bidang pertanian
    • Bidang lingkungan hidup
    • Bidang keluarga berencana
    • Bidang kehutanan
    • Bidang perdagangan
    • Bidang sarana & prasarana pedesaan
    • Bidang sanitasi
    • Bidang listrik pedesaan
    • Bidang perumahan dan pemukiman
    • Bidang keselamatan transportasi pedesaan
    • Bidang sarana dan prasarana perbatasan                                                                                                                                                                                                                                                                                         Dibutuhkan pemetaan berkala berbagai sarana dan prasarana minimum seluruh pemerintah daerah agar diketahui senjang sarana dan prasarana, sebagai dasar alokasi DAK selanjutnya. Pemetaan, pendataan, perbandingan, analisis senjang (gap analyisis)berkala dilakukan oleh provinsi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, BPKP, dan BPK.
  1. Risiko tata kelola pemerintah daerah berupa kepemimpinan daerah – baik DPRD maupun kepala daerah – yang tidak berorientasi kepada pembangunan sektor produktif daerah tersebut, kecenderungan memperbesar alokasi belanja rutin, menambah pegawai, menambah jumlah dinas/kantor, memperbesar anggaran rapat koordinasi, biaya perjalanan dinas dan biaya pemeliharaan sarana & prasarana pemda, penyisihan dana untuk berpolitik dan KKN.
  2. Risiko pertumbuhan DAU menuju 75% atau lebih, dari seluruh jumlah transfer ke daerah, risiko pertumbuhan nisbah (rasio, perbandingan) belanja pegawai dalam DAU menuju 100 % dan risiko alokasi DAU yang melanggar azas keadilan distributif kepada 17.504 pulau. Risiko fiskal berbentuk menguatnya mental ketergantungan pemerintah daerah kepada DAU, tak ada pertanggungjawaban peningkatan kualitas layanan publik berdasar peningkatan DAU, dan risiko DAU meningkat karena perubahan nisbah (rasio) DAU terhadap Penerimaan Dalam negeri. Alokasi DAU tertinggi tepat sama dengan pola DAK, yaitu kepada Provinsi Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, sementara alokasi DAU terkecil adalah kepada DKI, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Risiko fiskal bahwa anggaran & realisasi DAU terpasung dan tidak boleh lebih rendah dari tahun lalu, oleh karena itu menimbulkan risiko defisit APBN.
  3. Risiko transfer ke daerah berbentuk (1) alokasi transfer kurang adil dan bijaksana, misalnya daerah dengan senjang fiskal (fiscal gap) kapasitas fiskal tidak memeroleh dana transfer memadai, (2) transfer salah sasaran karena (1) kesalahan formula alokasi, (2) data tentang daerah tidak valid atau kurang tepat.
  4. Dua aspek pemberdayaan terpenting bagi setiap daerah otonom adalah prasarana dan SDM daerah tersebut. Risiko kesalahan alokasi APBN kepada pemerintah daerah cq daerah, yang bukan berbasis perencanaan strategis pembangunan daerah, tidak merealisasi aspirasi daerah. Alokasi ideal APBN seharusnya berbasis kebutuhan strategis tiap daerah, berbasis pulastrategi dalam negeri dan provinsi dalam membuat cetak biru atau perencanaan pembangunan lintas daerah yang berdampak domino, berdampak biliar,berdampak getok tular dan berdampak bola salju. Sepanjang sejarah NKRI, APBN teralokasi hampir 100 % untuk pembangunan pulau Jawa, Sumatera dan Bali, praktis mengabaikan kebutuhan listrik, air bersih dan jalan raya pada tujuh belas ribu pulau lain, diduga menjadi penyebab utama ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Masih banyak masalah dan beda pendapat disekitar sinkronisasi fiskal. Walau Propenas berupaya mengurangi disinkronisasi APBN dan APBD, prioritas pada pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur tak selalu menjadi prioritas pula bagi sebagian pemerintah daerah. Skema pembangunan infrastruktur terhambat keterbatasan anggaran pada tataran APBN dan APBD, pembangunan berbasis Public-Private Partnership (PPP) yang dibentuk pemerintah pusat, sebagian besar kurang menarik bagi pihak swasta dan pemda itu sendiri.                                                                                                                                                                                                                     Terdapat risiko disinkronisasi Peraturan Perundang-undangan pemerintah pusat dan Peraturan Daerah & Peraturan Kepala daerah, karena (1) peraturan daerah atau kepala daerah bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat, misalnya berbagai Perda tak sejalan dengan UU Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (2) salah rancang UU & peraturan pusat, kesulitan pemerintah daerah melaksanakan suatu peraturan pemerintah pusat. Perda bertentangan dengan aturan hukum di atasnya, otomatis batal demi hukum. Karena itulah kegiatan legal audit APIP, BPKP, dan BPK makin terasa penting.
  1. Pemekaran daerah lebih bersifat politis ketimbang kemaslahatan. Tujuan utama pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan manajemen daerah lebih berkualitas, pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat paska pemekaran. Tertengarai tujuan tersembunyi dari permohonan pemekaran daerah, yaitu sebagai cara memperoleh kedudukan sebagai kepala daerah yang baru dan sebagai modus oprandi menarik dana Pusat bagi daerah. Desentralisasi fiskal mengandung implikasi kemandirian fiskal pemerintah daerah pada umumnya, risiko pembengkakan dana transfer APBN ke daerah khususnya. Pada tahun 2005 transfer ke daerah baru sebesar Rp.150, 5 Triliun atau 5,4 PDB. Transfer ke daerah APBN-P 2011 mencapai Rp.412,5 Triliun atau 5,7% PDB.
  2. Motif desentralisasi pemerintahan adalah uang. Desentralisasi fiskal berisiko memperbesar keinginan pemekaran daerah, sehingga pemerintah harus membatasi pemekaran yang tidak sehat. Pemekaran tidak sehat berciri
    • Melanggar skala keekonomian(economies of scale), sebuah daerah berskala keekonomian ideal dimekarkan menjadi beberapa daerah yang demikian kecil sehingga melanggar azas efektivitas dan efisiensi.
    • Daerah yang dimekarkan ibarat memecah sebuah kursi, menjadi beberapa kursi berkaki dua, menjadi daerah yang tidak ideal untuk mandiri. Misalnya, sebuah kabupaten pesisir dibelah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten pedalaman penghasil hasil bumi, dan kabupaten pesisir berpelabuhan dan beraktivitas perdagangan, setelah pemekaran tetap saja dalam posisi saling membutuhkan.
    • Daerah hasil pemekaran tidak memenuhi kaidah skala keekonomian (economics of scale), ibarat menjadi sebuah kursi lengkap namun berukuran terlampau kecil untuk digunakan.
    • Bila jumlah anak dalam keluarga menjadi dua kali lipat, kerepotan dan biaya rumah tangga jauh diatas dua kali lipat. Melahirkan seorang anak berbeda dengan melahirkan dua kembar, karena meningkatkan kerepotan bunda jauh di atas dua kali lipat.
    • Dalam keluarga berencana, penerapan dua anak cukup adalah perencanaan cerdas. Dalam NKRI, pemetaan jumlah daerah otonom ideal dan propenas cetak biru pemekaran atau penggabungan daerah adalah insiatif kabinet, bukan insiatif daerah.
    • Menambah biaya pengelolaan negara, misalnya biaya pemilukada, biaya koordinasi pusat dan daerah, biaya fasilitasi, pembengkakan transfer APBN bagi daerah, tambahan tugas, kenaikan biaya operasi dan biaya karena pembengkakan organisasi kementerian dalam negeri, BPKP, BPK, Kepolisian dan lain-lain, kenaikan alokasi APBN kementerian dalam negeri.
    • Gelombang pemekaran – bila direstui DPRD &DPR- berisiko mendorong hasrat selanjutnya, yaitu keinginan daerah otonom menjadi sebuah negara.
    • Pemekaran sebagai disintegrasi semu, mati akal DPR dan ketidak mampuan pemerintah pusat mendamaikan berbagai isu sara diatasi dengan izin pemekaran, menyuburkan eksklusivisme berbasis sara, menyulitkan penerapandasar negara “ bhineka tunggal ika”, danNKRI berisiko sebagai guci antik “retak-seribu”.
    • Pemekaran dilakukan karena ambisi seseorang untuk menjadi pemimpin DOB, dan pemerintah daerah makin menjadi semacam kerajaan otonom. 

      Sejarah mencatat sepanjang 10 tahun pertama era reformasi (Oktober 1999- Januari 2008) terbentuk 164 daerah otonom baru (DOB), berupa 7 provinsi, 134 kabupaten dan 23 kota. Sebaliknya, pertambahan DOB yang praktis tidak ber PAD menyebabkan dana transfer daerah meningkat seribu seratus persen sepanjang 10 tahun, untuk periode 1999- tahun 2010. Pertumbuhan pendidikan di daerah menyebabkan kebutuhan akan pekerjaan dan jabatan publik meningkat, sebagian ambisi disalurkan dengan aspirasi pemekaran daerah.

  3. Terdapat risiko KKN dan salah sasaran Dana Penyesuaian, risiko karena tidak ada kesepakatan kriteria distribusi antara pemerintah pusat cq Departemen Keuangan dan DPR cq Banggar DPR, dan tidak ada audit kepatuhan BPK terhadap transparansi proses seleksi daerah nir KKN dan Daftar Nominasi Daerah Layak Menerima Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah berdasar kriteria tersepakati. Sejarah mencatat bahwa seorang anggota Banggar ditetapkan KPK sebagai tersangka penyalahgunaan kekuasaan distribusi DPID.

 

RISIKO FISKAL DAERAH

  • Secara empiris tertengarai bahwa pemekaran daerah dan desentralisasi fiskal ternyata tidak membawa percepatan kemakmuran sebagian besar daerah otonom. Tertengarai pula bahwa kebanyakan daerah dimekarkan ternyata tidak berkinerja lebih baik dari kondisi sebelum pemekaran. Transfer APBN ke daerah dan APBD sendiri digunakan untuk kepentingan birokrasi daerah itu sendiri, bukan untuk pembangunan prasarana daerah. Sepanjang era otonomi daerah, terjadi penurunan senjang (gap) penduduk kaya-miskin dan peningkatan senjang ketimpangan.
  • Kabinet Jokowi amat sadar prasarana. Persaingan “ daya tarik investasi” antar negara (untuk pemerintah pusat) dan antar daerah (untuk pemerintah daerah) antara lain berbentuk penyediaan prasarana, namun transfer APBN dan APBD sendiri sebagian besar digunakan untuk birokrasi daerah itu sendiri. Belanja transfer sekitar 30% APBN atau sekitar Rp.500 Triliun pertahun tak berhasil meningkatkan kapasitas prasarana daerah, mengalir sebagai belanja rutin cq sebagai belanja pegawai pemda.Dana Alokasi Khusus belum menunjukkan hasil, sebaliknya, malah mengandung risiko fiskal. Dari tahun ke tahun, kondisi infrastruktur daerah makin menurun, menyebabkan konsentrasi populasi & kegiatan perekonomian bangsa terpusat pada pulau berinfrastruktur terbaik, yaitu pulau Jawa, Sumatera dan Bali dari 17.504 pulau NKRI. Hanya sebagian kecil APBD digunakan untuk belanja modal.
  • Stabilitas fiskal dipengaruhi dinamika serta stabilitas sosial dan politik di daerah. Pada situasi ekstrim, pemekaran daerah (spin off) menyebabkan manajemen fiskal daerah juga terbelah, terutama pada wilayah belanja rutin, belanja pegawai dan PAD. Pada umumnya keinginan pemekaran berbasis pertimbangan SARA dan PAD, karena kalah suara pada tataran DPRD dan /atau keinginan oknum tertentu menjadi kepala daerah dimekarkan.
  • Risiko fiskal dapat berbentuk Peraturan daerah (Perda) berupa
    1. Pemerintah daerah dan DPRD mengonsumsi banyak waktu, tenaga, pikiran dan APBD untuk merumuskan Perda.
    2. Proses penyusunan Perda dan Perda bertentangan dengan hukum diatasnya cq UU, PP, Permenkeu dan Permendagri, terutama pada bidang pungutan atau pajak daerah. Sejarah mencatat berbagai temuan PERDA tak sejalan UU diatasnya oleh BPKP dan BPK. Sejumlah cukup besar Bupati, Wali Kota, anggota DPR & DPRD, dan pejabat pemda lain ditahan atau menjalani proses hukum di kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Proses hukum menurunkan kinerja pemda tersebut.
    3. Sebagian pemerintah daerah berkecenderungan memungut pajak daerah atau retribusi berlebihan, sehingga (1) memberatkan penduduk setempat, (2) mencipta ekonomi biaya-kemahalan, (3) menyurutkan minat investor berinvestasi atau ber-bisnis pada daerah tersebut. Perda kontraproduktif adalah perda menyebabkan penurunan daya tarik investasi dari luar daerah, kesempatan berakitivitas ekonomi dan kesempatan kerja menurun, PDB daerah menurun, terdapat arus tenaga kerja produktif keluar daerah tersebut untuk mencari nafkah.Tertengarai beribu ribu perda pungutan berisiko mencipta ekonomi biaya tinggi, menurunkan daya saing daerah tersebut dan melanggar prinsip perpajakan, beratus-ratus perda dibatalkan.
    4. Sebaliknya, apabila tidak berbasis manajemen tata-ruang dan manajemen kelestarian (sustainable management), perda perizinan usaha atau konsesi SDA terlampau berambisi mencipta PAD dapat menyebabkan pengurasan SDA berlebihan, daerah berisiko menjadi wilayah SDA tersaturasi dalam sekejab. Perizinan usaha penggalian, penambangan, pemanfaatan SDA dan pengrusakan SDA sebagian disebabkan oleh DPRD dan pimpinan pemda yang mengejar pertumbuhan ekonomi instan atau keuntungan pribadi. Pengurusakan SDA antara lain konversi ribuan Ha hutan bakau menjadi areal pertambakan atau pariwisata, memusnahkan lahan pembenihan ikan menyebabkan nelayan sulit memperoleh penghasilan dari penangkapan ikan.
  • Pemda dapat masuk ke situasi financial distress, lalu meningkat menjadi darurat fiskal (fiscal emergencies) atau kehilangan kemampuan fiskal daerah. Tiga katagori darurat fiskal adalah
    1. Pemda bangkrut
    2. Gagal bayar kewajiban jatuh waktu
    3. Gagal melunasi kewajiban lain
  • Risiko kegagalan mencapai target atau tujuan, kegagalan pelaksanaan program, kegiatan atau proyek pemerintah daerah diatasi dengan pengelolaan fiskal nan jujur, waspada dan berhati- hati (prudent) dan rendah hati (humble). Kerendahhatian fiskal dilakukan atau dinyatakan dengan
    1. Selalu mengindahkan temuan, saran atau rekomendasi APIP, BPKP dan BPK.
    2. Melakukan peniruan praktik terbaik pemda yang lain, beranjangsana dan melakukan studi banding atau patok duga (benchmarking).
    3. APBD harus mengalokasikan SD untuk memitigasi temuan auditor tahun lalu.
    4. Penerapan Pakta Integritas.

 3

PENGUKURAN RISIKO FISKAL

  • Risiko APBN dan APBD ditandai (1) trend meningkat belanja transfer (wajib) ke daerah menuju 50% belanja APBN atau lebih apabila tidak dibendung oleh DPR dan Presiden, (2) trend meningkat aliran dana kementerian/lembaga ke daerah, menyebabkan ruang fiskal belanja modal & nonoperasional pemerintah pusat menuju 10% APBN dan (3) trend meningkat belanja pegawai pemda menuju 80% belanja APBD apabila tidak dibentung DPRD dan pemerintah Daerah.
  • Pengukuran risiko fiskal dimulai dengan kegiatan mengklasifikasi jenis risiko fiskal menjadi risiko eksplisit, risiko implisit, risiko pasti terjadi dan risiko kontinjen yang dapat menyeret kearah kebangkrutan daerah.

Risiko eksplisit adalah risiko karena hukum formal dan perikatan hukum.

Risiko implisit adalah risiko moral, tanggung jawab moril dan constructive liability. Sebagai misal, makin besar risiko moral diindikasikan oleh kenaikan nisbah belanja pegawai pemda terhadap belanja modal & belanja sosial, dan kenaikan nisbah belanja pegawai pemda terhadap seluruh belanja pemda yang mempunyai trend makin besar.

Constructive liability adalah kewajiban yang timbul akibat persepsi atau anggapan masyarakat. Sebagai misal apabila suatu daerah kotor tak terurus, penduduk setempat tidak menyalahkan PD Sampah Daerah, namun melakukan unjuk-rasa kepada pemerintah daerah, sehingga APBD harus menganggarkan risiko sampah tak terurus tersebut.Sebagai contoh, abrasi daratan oleh air laut, abrasi jalan raya oleh kendaraan,sungai dan hujan sebagian dapat dicegah, pensiun PNS adalah risiko pasti terjadi, bencana flu burung adalah risiko kontinjen.

Sebagian risiko fiskal yang pasti terjadi dipicu peraturan perUUan cq perda yang tidak diperhitungkan secara matang, misalnya perda tentang bebas uang sekolah sampai dengan SLTA, pembuatan KTP dan berbagai jenis layanan publik cuma-cuma.

  • Pemda membentuk satker khusus bertugas sebagai Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Daerah (PPRFD) dengan pengutamaan pengelolaan
    1. Risiko gagal membayar imbalan SDM Pemda, beban rutin dan kewajiban rutin jangka pendek,
    2. Risiko gagal membayar kewajiban jatuh tempo (termasuk obligasi daerah),
    3. Risiko pendapatan transfer diterima lebih kecil dari rencana semula (APBD),
    4. Risiko transfer APBN terlambat diterima pemda,
    5. Risiko realisasi PAD tak sesuai APBD Pendapatan Pajak Daerah dan PAD,
    6. Risiko perda pajak daerah mengurangi daya tarik daerah dan menimbulkan hambatan investasi,
    7. Risiko pemda meminjam kepada BUMD pemda itu sendiri,
    8. Risiko pemda berhutang pada pemasok utama pemda atau risiko gagal bayar,
    9. Risiko bahwa pinjaman baru pemda menyebabkan pelanggaran pagu debt serviceratio yang ditetapkan DPRD,
    10. Risiko bahwa jaminan utang pemda melebihi pagu nisbah utang terhadap pendapatan bersih daerah,
    11. Risiko pembengkakan pembayaran (balooning payment) suatu tahun APBD tertentu,
    12. Risiko kenaikan beban bunga pemda lebih besar dibanding kinerja penghematan operasional pemda, dan
    13. Risiko APBD defisit, sepanjang lima tahun ke depan.
    14. Risiko hambatan & persyaratan penarikan Dana Darurat dari APBN
    15. Risiko warisan bom waktu dari pejabat pemda yang akan habis masa jabatan kepada pemenang pemilukada yang akan datang, berupa penandatanganan perjanjian dan penarikan pinjaman baru atau emisi obligasi daerah yang sedemikian besar dan berisiko defisit APBD masa depan, bahkan risiko gagal bayar dan kebangkrutan pemda.

 

INDIKATOR KINERJA EKONOMI PEMDA

Indikator sukses desentralisasi fiskal dan ekonomi pemda diukur dengan

  1. Tingkat kemandirian fiskal daerah otonom tersebut terhadap transfer APBN.
  2. Daya saing pemda digambarkan oleh kualitas prasarana pemda, yaitu (1) sukses pemeliharaan prasarana yang ada dan (2) sukses pembangunan prasarana produktif yang baru. Jenis prasarana adalah prasarana utama yang mendukung kegiatan perekonomian pemda, pajak & retribusi daerah. Kenaikan nisbah (rasio, perbandingan) belanja modal dibanding belanja pegawai adalah indikator kenaikan produktivitas pemda. DPRD dan pimpinan Pemda berhasil melakukan peningkatan efektivitas & efisiensi belanja rutin untuk memperbesar ruang fiskal (fiscal space) untuk perbesaran (1) belanja modal cq infrastruktur daerah dan (2)belanja bantuan sosial. Pada halaman 279, Risiko Fiskal Daerah, Editor Freddy R.Saragih, terbitan PT Era Adicitra Intermedia (Cetakan Kedua, 2013), Adrianus Dwi Siswanto mencatat bahwa rerata Belanja Pegawai mencapai 75 % dari seluruh APBD, lebih dai 60 % pemda berbelanja pegawai di atas 75% APBD.
  3. Pemda Provinsi berperan strategis untuk mendorong iklim belanja prasarana, dan sejarah mencatat (1) perbandingan lebih sehat belanja modal vs belanja pegawai, (2) peningkatan lebih besar pembangunan prasarana pada pulau atau provinsi tertentu (misalnya Sumatera) dibanding rerata kinerja belanja modal pulau atau provinsi lain pada kurun waktu tertentu.
  4. Daerah mampu menahan diri, berikhtiar menghindari RAPBD berdefisit fiskal, sekurang-kurangnya berupaya agarrencana defisit anggaran tidak lebih besar dari 3 % PDB.
  5. Nisbah utang daerah tidak lebih besar dari 60 % PDB daerah tersebut, tidak ada kebutuhan pinjaman daerah atau penerbitan obligasi daerah untuk menutup defisit APBD.
  6. Nisbah belanja sosial vs belanja pegawai meningkat. Kesejahteraan rakyat meningkat dan makin merata (ditandai penurunan nisbah senjang miskin-kaya atau Gini Ratio), pertumbuhan ekonomi daerah atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penurunan tingkat inflasi dan pengangguran daerah.                                                                                                                                                                                                                                                                    Tak semua pemda mengidap bulimia belanja pegawai. Pertumbuhan penduduk dan masalah sosial, perubahan gaya hidup masyarakat dan perubahan domestikasi massa cq ketidakpatuhan sosial menyebabkan biaya pelayanan publik terpaksa meningkat, menyebabkan jumlah belanja pegawai dan rutin lain meningkat, juga berisiko menimbulkan krisis fiskal atau financial distress.
  7. Pada satu sisi berupa kenaikan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja APBD, pertumbuhan belanja prasarana& pemeliharaan prasarana terfokus pada desa paling tertinggal,pada sisi lain berupasukses memerangi KKN pada tataran DPRD dan pejabat Pemda menyebabkan realisasi belanja modal tersebut bebas-bocor, berdampak
    • Mobilisasi perekonomian daerah,
    • Daerah tersebut makin menarik sebagai wilayah investasi, dan
    • Mencipta lapangan kerja daerah.                                                                                                                                                                                                       Indikator berupa kenaikan nisbah belanja infrastruktur terhadap seluruh belanja daerah
  1. Pertumbuhan kualitas layanan publik dan peningkatan kepuasan masyarakat terhadap layanan pemda lebih besar dari pertumbuhan belanja operasional dan belanja pegawai pemda. Layanan pemda terfokus kepada bidang pendidikan, bidang kesehatan dan bidang ekonomi atau kesejahteraan pada tataran desa dan dusun paling tertinggal. APBD Pemda berupaya menyediakan biaya pendidikan formal sampai jenjang tertentu, misalnya sampai lulus SLTA. Peningkatan kesejahteraan atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digambarkan oleh kenaikan rata-rata usia hidup, pengetahuan dan hidup layak. Usia hidup adalah angka harapan hidup saat lahir, pengetahuan diproksi angka melek huruf, lama bersekolah dan rerata pendidikan, kehidupan layak digambarkan pengeluaran perkapita nyata tersesuaikan indeks daya beli.
  2. Seluruh atau sebagian besar Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB dikonversi menjadi sarana dan prasarana daerah dan belanja sosial bagi desa dan dusun paling tertinggal.
  3. Setiap pemda harus berupaya meningkatkan PAD melalui pemberdayaan desa paling tertinggal dan optimalisasi sumberdaya yang dimiliki. Pertumbuhan PAD, yang berpotensi menyebabkan penurunan kebutuhan transfer akan APBN, Dana Perimbangan – berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum(DAU) dan Dana Alokasi Khusus(DAK) – menyebabkan surplus fiskal atau penurunan / penjagaan defisit fiskal dibawah minus 3 persen dari PDB Daerah, penurunan nisbah utang pemda terhadap PDB Daerah.            Indikator utama kinerja PAD adalah
    • Nisbah (rasio, perbandingan) PAD terhadap seluruh pendapatan daerah, merupakan indikator tingkat kemampuan &kemandirian pemda dalam membiayai kegiatan rutin. Karena itu setiap pilkada harus berupa kontes rencana perang terhadap senjang fiskal melalui peningkatan PAD dari para kontestan.
    • Nisbah (rasio, perbandingan) PAD terhadap seluruh pengeluaran atau belanja daerah, merupakan indikator tingkat kemandirian pemda dalam belanja daerah. Karena itu setiap pilkada harus berupa kontes rencana peningkatan efektivitas dan efisiensi anggaran.
    • Pada satu sisi terjadi kenaikan alamiah PAD pajak disebabkan peingkatan perekonomian daerah, pada sisi lain terjadi upaya pemerintah daerah untuk menurunkan nisbah PAD Pajak, Retribusi & Pungutan lain terhadap PAD PNBP. Risiko peningkatan nisbah PAD Pajak, Retribusi & Pungutan lain terhadap PAD PNBP disadari sebagai over taxed risk, yang menyebabkan investor luar enggan masuk pemda.
  4. Pertumbuhan pendapatan perkapita pada pemda tersebut dibanding dengan
    • Pertumbuhan pendapatan perkapita pemda yang sama sebelum pemekaran,
    • Pemda tetangga dan
    • Pertumbuhan income percapitasecara nasional pada tahun fiskal yang sama.
  5. Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran pada pemda tersebut dibanding
    • Penurunan kemiskinan & pengangguran pada pemda yang sama sebelum pemekaran,
    • Pemda tetangga berkondisi setara dan
    • Secara nasional pada tahun fiskal yang sama.
  6. Kenaikan nisbah anggaran belanja sosial terhadap seluruh belanja daerah menggambarkan peningkatan kemampuan melaksanakanberbagai tugas layanan publik, meningkatkan kualitas layanan publik, meningkatkan kemampuan mitigasi risiko bencana alam, kesehatan, sara atau eksternalitas negatif lain. Anggaran sosial bersasaran peningkatan kesejahteraan sosial & peningkatan Indeks Pembangnan Manusia (IPM) yang mencakupi bidang pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.                     Kenaikan belanja harus disertai kenaikan efektivitas, efisiensi dan pertanggungjawaban tenaga kesehatan, prasarana kesehatan, obat-obatan terutama terkait hal-hal sbb :
    • Harapan hidup
    • Indeks kebahagiaan janda
    • Angka kematian bayi
  7. Penurunan ketimpangan pendapatan antar- daerah karena pemda tersebut membuat program penurunan ketimpangan, melakukan studi banding, patokduga (benchmark) dan “ belajar” kepada pemda sukses berotonomi daerah dan mampu mengejar ketinggalan dari daerah lain yang kurang lebih setara luas, SDA dan SDM nya. Tugas pemerintah pusat menutup senjang tersebut dengan program pengentasan daerah tertinggal dan program lain yang lebih efektif.Indikator ketimpangan adalah penyimpangan (deviasi, senjang atau gap) PDRB (nominal atau perkapita) daerah tersebut terhadap rata-rata PDRB nasional.

    Apabila DAU mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, berarti daerah amat tergantung kepada pusat. Pada umumnya terdapat senjang pendapatan antara wilayah Indonesia bagian Timur dengan indonesia bagian Barat.

  8. Peningkatan iklim demokrasi pada pemda, melibatkan Transparency International Indonesia (TII) dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) untukmeningkatkan kemampuan rakyat memilih calon pimpinan bersih KKN, melakukan benchmarking atau studi banding ke kota Solo dan pemda lain berperingkat korupsi terendah di dunia & NKRI, membangun good governance, melakukan pendidikan masyarakat sebagai petugas whistle blowing yang aktif, tekad & keberanian penerapan Pakta Integritas dan pengumuman “zona bebas korupsi” pada pemda, aktivitas APIP pemda terfokus pada efektivitas, efisiensi dan ekonomi RAPBD dan Realisasi APBD serta penerapan audit investigatif atau fraud auditing yang menyebabkan pejabat pemda & DPRD bebas rumor atau tuduhan KKN. Penduduk setempat dilatih agar mampu memberi tanda bahaya kepada KPU, KPK dan BPK apabila tertengarai APBD umumnya, belanja khususnya menjadi alat politik untuk penggalangan suara pada pemilukada yang akan datang.
  9. Peningkatan belanja pegawai berdampak peningkatan belanja operasi, belanja barang dan modal untuk kebutuhan pemda sendiri, berdampak memperkecil ruang fiskal (fiscal space) belanja infrastruktur daerah, memperlambat pembangunan ekonomi daerah dan pertumbuhan PDB daerah. Salah satu kinerja fiskal daerah adalah kemampuan daerah menahan laju pertumbuhan belanja pegawai, ditandai peningkatan APBD tidak diiringi apalagi disebabkan peningkatan belanja pegawai pemerintah daerah, peningkatan APBD diiringi efisiensi belanja barang.
  10. Penurunan koefisien ketimpangan fiskal vertikal atau penurunan ketergantungan dari APBN.
  11. Indikator kemandirian fiskal digambarkan oleh ketersediaan dan kecukupan Dana Darurat berbagai pemda yang mengalami bencana alam dan bencana bukan alam secara berulang.

 

KESIMPULAN & PENUTUP

Risiko gagal bayar pemerintah daerah lebih besar dari risiko gagal bayar pemerintah pusat.

Sejarah mencatat bahwa PAD tertinggi mencapai hanya 20 % belanja pemerintah daerah. Sekitar 75 % transfer APBN kepada APBD digunakan untuk belanja pegawai pemerintah daerah. Hanya sebagian kecil APBD berbentuk belanja modal.

Belum ada kesadaran nasional bahwa pemeliharaan dan pembangunan prasarana perekonomian daerah berhubungan langsung dengan pertumbuhan PDB daerah, kesempatan kerja dan pendapatan perkapita daerah. Belum terdapat penyeragaman atau gotong royong APBD lintas pemerintah daerah pembuatan tol laut NKRI dan tol darat lintas provinsi.

Indonesia telah mencipta berbagai daerah otonom yang defactotidak otonom dalam aspek fiskal. APBD ber laju pertumbuhan belanja lebih besar dari pertumbuhan pendapatan pemda. Terdapat risiko defisit APBD, terdapat risiko peningkatan transfer APBN kepada APBD.

Desentralisasi mencipta daerah otonom yang bergantung dari transfer pemerintah pusat.

Terjadi trend global desentralisasi kepemerintahan di muka bumi. Studi empiris Prud’homme, Remy (1995) menyimpulkan bahwa perkembangan desentralisasi tersebut tidak sehat, menyalahi berbagai prinsip fiscal federalism. Karena itu periset tersebut menyarankan berbagai hal, yang di elaborasi pemakalah untuk keperluan NKRI sbb

  • Perencanaan desentralisasi harus mencakupi risiko, bahaya dan kerugian desentralisasi bagi bangsa tersebut
  • Suatu kebijakan umum desentralisasi tak selalu harus berupa perlakuan seragam bagi tiap pemerintahan daerah dalam negara itu, karena keanekaragaman dan keunikan tiap daerah.
  • Bahaya kebijakan desentralisasi bersifat seragam diatasi oleh perubahan UU Otonomi Daerah yang memberi perlakuan khusus pada tiap daerah, misalnya
  • Tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat yang dapat didesentralisasi harus dipilih secara amat berhati-hati sesuai kemampuan daerah tersebut untuk melakukan tugas tersebut.
  • Tugas pokok pengembangan suatu sektor ekonomi khusus sesuai keunggulan sumber daya daerah tersebut.
  • Tugas sebagai pemda percontohan atau tugas koordinasi sesuatu tupoksi layanan publik tertentu, koordinasi program, kegiatan, proyek berbagai pemda lain, hubungan pemda pemasok (pemda hulu ekonomi) dan pemda konsumen (pemda hilir ekonomi), pemda produsen (misalnya pedalaman) dan pemda penyalur /perdagangan / hub (misalnya pemda berpelabuhan laut atau udara).
  • Sistem pertanggungjawaban kepada masing-masing kementerian, terutama Kemendagri dan Kementerian Desa. Sistem pertanggungjawaban keuangan pemda, kewajiban melaksanakan PP 71/2010 dan program pencapaian opini atas LK Pemda berderajat WTP dari BPK. Insentif fiskal bagi Pemda dengan LK berpredikat WTP, misalnya kemudahan prosedur penerbitan Obligasi Daerah.
  • Pemilukada langsung atau tidak langsung, disesuaikan kondisi sosial-politik tiap daerah, agar tujuan demokratisasi tercapai.
  • Tupoksi Provinsi dan Komando Militer Wilayah harus ditata ulang.
  • Tugas dan wewenang penjagaan dan perlindungan kelestarian lingkungan darat dan lautan yang masih jauh dari efektif harus di tata ulang.
  • Fasilitas keamanan Pemda perbatasan dengan negara lain, atau dengan autan bebas.
  • Sanksi pelanggaran UU Otonomi Daerah, penggabungan kembali suatu pemekaran yang menyebabkan moral hazard.
  • Perubahan UU tentang penggunaan mata anggaran yang tidak tumpang tindih, obligasi daerah dan DAU.