SEJARAH PROKLAMASI
Catatan Pribadi Jan Hoesada
PENDAHULUAN
Makalah dibatasi kedangkalan persepsi pemakalah akan hal-hal yang menarik perhatian pemakalah, berdasar pada dokumen otentik BPUPKI dan PPKI, ditambah karya Adam Malik tentang Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Penerbit Widjaya, Jakarta, cetakan pertama 1950 sampai dengan cetakan ketujuh 1982. Segala kesalahan persepsi pemakalah, bila ada, mohon dimaafkan. Pada tahun 1924, Tan Malaka menulis buku berjudul Menuju Republik Indonesia di luar negeri dan secara ilegal disiarkan keseluruh kepulauan Indonesia, menjadi pedoman para pemimpin pergerakan dan perjuangan, menjadi penunjuk jalan membentuk sebuah masyarakat dan negara demokratis. Partai Republik Indonesia (PARI) didirikan Subakat, Djamaludin Tamin dan Tan Malaka di Bangkok pada bulan Juni 1927.Kongres pemuda dan Pelajar tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta memutuskan bahwa persatuan Indonesia atau unitarisme – bukan federalisme – yang menjadi dasar Indonesia Raya. Pada 23 April 1933, Kongres Partai Indonesia (Partindo) di Surabaya memutuskan bahwa seluruh pergerakan menuju pembentukan Republik Indonesia.Pada bulan Maret 1942, kota Batavia diserahkan tentara kolonial kepada balatentara Jepang, disaksikan ribuan penduduk Jakarta. Kebijakan Jepang amat tidak konsisten. Sebagai misal, pada awal pemerintahan Jepang, pengibaran bendera Merah Putih diizinkan, kemudian pengibaran sang merah putih dilarang setelah pemerintah Jepang merasa telah menguasai keadaan dengan strategi ancaman bayonet. Pemerintah merekrut para tokoh gemar pujian, upah dan tempat tinggal, mendukung gerakan “ Tiga A” Mr.Samsudin, lalu gerakan PUTERA. Perencanaan versi Jepang tentang Indonesia Merdeka dibalas oleh rakyat dengan rencana Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yang berisi anggaran dasar Indonesia dan persiapan pembentukan Republik Indonesia, sebagai cikal bakal Mukaddimah UUD.
Pada Perang Dunia Kedua, Pemerintah Balatentara Dai Nippon menyikapi kekuatan sekutu dan makin menyadari penjajahan langsung adalah tidak mungkin lagi, sehingga mengubah strategi penjajahan fisik dan langsung dengan membentuk kekuatan tenaga perang Asia Timur Raya dengan mendirikan negara merdeka di Birma, Filipina dan Indo China dalam waktu pendek. Termasuk didalam strategi merangkul ini adalah pembentukan Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia – sebuah kemerdekaan dihadiahkan – yang terikat suatu kewajiban yang dilimpahkan Pemerintah Balatentara Dai Nippon untuk menyelidiki usaha-usaha kemerdekaan Indonesia. Sejarah lalu mencatat bahwa para pemuda menolak gagasan hadiah tersebut, dan mendirikan NKRI berdasar proklamasi kemerdekaan.
India telah mempunyai pemerintahan kebangsaan sementara, Birma, Thai, Filipina, Tiongkok, Mantsukwo, Anam, Luang Prabang telah merdeka. Pada rapat BPUPKI Soekarno menyatakan bahwa; Kita bangsa Indonesia sendiri yang belum merdeka. Ini kami anggap kecemaran nama bangsa kita Indonesia[1].
Sebelum didirikan, RI adalah kumpulan 17.504 pulau, sekitar 300 kerajaan daerah, dengan beragam suku, agama, budaya, dan adat istiadat. Para penggagas RI yang terhimpun dalam BPUPKI dan PPPKI adalah berbagai tokoh dari berbagai suku asli, Arab dan Tiong Hoa dan etnis lain-lain. Sesuai komposisi penduduk, terdapat pula Oei Tjong Hauw, Oei Tian Tjui, Liem Kun Hian dan Mr.Tan Eng Hoa dari 60 orang anggota inti BPUPKI. Terdapat satu orang Tiong Hoa – Liem Kun Hian – dalam PPKI yang bertugas merumuskan RI dan UUD 1945.
LATAR BELAKANG PENDIRIAN BPUPKI
Jepang mengalami kekalahan beruntun sejak bulan Mei 1942 dan kekalahan besar di Coral Sea, sebelah Timur Australia. Jepang lalu mengganti strategi penjajahan fisik langsung dengan strategi dukungan semesta. Strategi baru Jepang adalah membangun dukungan rakyat wilayah Nusantara melawan sekutu dengan pengumuman janji kemerdekaan Indonesia oleh PM Koisio pada bulan September 1944, dan BPUPKI dilantik 28 Mei 1945 untuk (1) rencana persiapan kemerdekaan Indonesia, dan (2) rencana pembentukan paramiliter seperti Tentara Pembela Tanah Air (Peta), Heiho, Seinindan dan Keibodan. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, PPKI membatalkan rancangan BPUPKI dengan membubarkan pasukan-pasukan paramiliter tersebut. Sesuai pasal 10 UUD 1945, PPKI membentuk AD, AL dan AU RI.
RI diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, diakui internasional tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag & Jakarta, dan (kembali) menjadi Negara Kesatuan RI pada bulan Agustus 1950.
Dua tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pengakuan (serentak di Den Haag & Jakarta) kedaulatan RI terjadi pada 27 Desember 1949 pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konferensi membentuk Negara Federal Republik Indonesia Serikat. Rakyat negara-negara bagian menuntut agar negaranya bergabung dengan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus berhasil mengurangi jumlah negara-negara bagian menjadi tiga, yaitu Republik Indonesia,Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Pada bulan Agustus 1950, tampil Mosi Integral dari Muhamad Natsir di DPR RI, menyebabkan DPR kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Episode praproklamasi diwarnai persaingan komando militer angkatan darat dan angkatan laut Jepang, menyebabkan lahirnya dua BPUPKI, Yaitu BPUPKI Jawa dan BPUPKI Sumatera. BPUPKI menghasilkan program jangka pendek, dan BPUPKI Jawa menghasilkan rancangan Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. PPKI mencakupi seluruh wilayah RI.
BPUPKI bertugas mengkaji dan menelaah, PPKI mengambil keputusan berdasar kajian dan telaah tersebut. Kajian BPUPKI bersifat teoretis, merupakan elaborasi mendalam filsafat kenegaraan dan hak warganegara serta penduduk, menjelaskan latar belakang pikiran para pendiri negara, pendapat yang diajukan berderajat prasaran yang ditawarkan secara terbuka untuk ditanggapi dan diubah anggota BPUPKI yang lain. Gaya kalimat pendapat yang diajukan dalam sidang BPUPKI walau bergaya bahasa pengambilan keputusan, sama sekali tidak mengubah tugas kajian BPUPKI tersebut di atas. PPKI adalah pengambil keputusan. Pendapat yang diajukan pada sidang PPKI merupakan negosiasi dalam proses pengambilan keputusan dalam proses mendirikan negara, tidak bersifat teoretis, bersifat final, bercorak politis dan legal[2]
NKRI berisiko bubar terpecah-belah menjadi beberapa negara segera setelah proklamasi, apabila dua orang kiai yaitu (1)Kiai Sanusi dan KI Bagus Hadikusumo pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945 tidak menuntut dengan gigih agar penggal kalimat UU 1945 tanggal 22 Juni 1945 berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret saja, (2) lalu mendukung permintaan tokoh-tokoh mayarakat Indonesia Bagian Timur –seperti Maramis dan Latuharhari pada tanggal 17 Agustus sore kepada Drs Mohammad Hatta – agar anak kalimat yang memuat “ tujuh kata” tersebut dihapus, ditambah dukungan (3)Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Sanusi, K.H. Wachid Hasyim, Mr.Teuku Mohammad Hassan dan Mr Kasman Singodimejo pada tanggal 18 Agustus yang dengan serta merta menyambut baik usulan tersebut[3].
Proklamasi terjadi pada tanggal 17 Agustus dan sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus pagi dengan persetujuan penuh tokoh-tokoh Islam telah dapat menuntaskan masalah anak kalimat dalam alinea keempat Rancangan Pembukaan UUD 1945, yaitu”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” saja.
Sejarah mencatat bahwa para tokoh Islam cq para Kiai tersebut pada rapat BPUPKI amat bersemangat mengusulkan sebuah negara RI berbasis faham nasionalisme, yang tidak seberapa sukses, karena Soekarno – yang khawatir akan potensi konflik – bertahan konsisten pada hasil perundingan alot antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam, yaitu memasang tujuh kata tersebut. Karena itu kedua Kiai tersebut – kemudian – sekali lagi mendukung gugatan Maramis dan Latuharhari tersebut diatas. Hasilnya adalah RI tidak terbelah menjadi beberapa negara atau beberapa bangsa, karena rapat sepakat akan bentuk sebuah negara kebangsaan modern.
NKRI tergolong negara kebangsaan modern, adalah negara yang pembentukannya berdasar semangat kebangsaan – atau nasionalisme – yaitu tekad suatu kumpulan masyarakat beragam ras, etnis, suku bangsa, golongan dan agama untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara.
Kesepakatan kenegaraan modern oleh semua jenis suku dan agama yang terdapat di kepulauan Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 mencakupi visi kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, cita-cita dan tujuan negara, dasar moral negara, dasar politik negara, kedaulatan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi negara.
Melalui Letnan Gubernur Jenderal Belanda ; Dr.H.J. van Mook sebagai delegasi, ternyata Belanda berupaya menyimpang dari Piagam Perserikatan Bangsa-Banga versi San Fransisco 26 Juni 1945, melakukan lobi ke Inggris dan AS dalam ikhtiar Belanda menjajah kembali kepulauan Indonesia.
Kecuali Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, para pemimpin masyarakat Indonesia Bagian Timur aktif berperan dalam proses pembentukan dan pengesahan UUD 45, namun tidak dapat secara langsung membela negara RI karena daerah luas itu berpenduduk sedikit, sehingga Indonesia bagian Timur dikuasai NICA (Netherlands Indies Civil Administration) sesuai Civil AffairAgreement antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.
Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan melakukan perlawanan hebat, sehingga pihak Belanda menugasi Kapten Raymond “Turk” Westerling yang brutal. Negara-negara bagian Kerajaan Belanda tersebut melakukan protes keras atas agresi militer kedua 19 Desember 1948, ikut memprakarsai Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta bulan Juli 1949, mendukung pengembalian Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pembuangan di pulau Bangka, bergabung dalam BFO (Bieenkomst Federal Overleg), membantu delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Meja Bundar di Negeri Belanda.
Perundingan tersebut masih menyisakan masalah Irian Barat dan Timor Timur, sebagai pilihan diplomasi oleh para perunding Indonesia. Dalam buku sejarah berjudul War and Diplomacy in Indonesia, 1945-1950, Oey Hong Lee (1981) – pengarang buku – menyatakan bahwa dalam masa transisi antara kekuasaan balatentara Jepang dengan pasukan pendudukan Sekutu, dan ditengah peluang yang timbul dari pekembangan setelah Perang Dunia Kedua, pemerintah Republik Indoneia harus pandai-pandai memilih langkah yang tepat, antara langkah perjuangan dan langkah diplomatik. Sejarah kemudian mencatat NKRI berhasil merebut Irian Barat kembali kepangkuan Ibu Pertiwi pada satu sisi, pada sisi lain melepas Timor Timur menjadi negara Timor Leste.
Sebagai sebuah negara modern, Pancasila yang akhirnya menjadi asas negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD, merupakan hasil kerja sembilan tokoh pemimpin bangsa, yang kemudian disempurnakan lagi oleh empat orang “founding fathers”[4]
BADAN PENYELIDIK USAHA-USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA (BPUPKI)
BPUPKI mempunyai seorang ketua, dua orang wakil ketua, 60 anggota dan 6 anggota tambahan.
Pada tahun 1945 terdapat sekitar 300 kerajaan di kepulauan Nusantara bercorak negara-pusaka atau bersifat negara kekuasaan. Pendirian Negara Indonesia tidak menggunakan dasar kedatuan atau keperabuan, tidak pula meniru suatu susunan tata negara negeri luaran namun menggunakan rakyat Indonesia sebagai dasar negara dan dasar peradaban Indonesia. BPUPKI bertugas mengumpulkan sari-sari tata negara yang sesuai sebagai bahan pembentukan Negara Hukum, dasar kehidupan adalah bentuk pemerintah, cara memerintah dan susunan pemerintah.
Pidato Muhammad Yamin pada sidang pertama BPUPKI mendorong Rapat Besar tanggal 29 Mei 1945 pada acara Pembicaraan tentang Dasar negara Indonesia mengambil prakarsa agar
- Sidang memilih bentuk Negara Republik Indonesia sebauah sebuah negara kebangsaan Indonesia, suatu etat nasional, yang mewujudkan kemauan jiwa dan keinginan cita-cita rakyat. Inilah dasar utama sila pertama tentang Kebangsaan.
- Sidang memilih faham Indonesia Merdeka. Kedaulatan rakyat dan Indonesia Merdeka berdasar perikemanusiaan dan kesusilaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa. Inilah dasar utama sila kedua tentang perikemanusiaan.
- Sidang memilih faham (1)mufakat dan permusyawaratan dalam pilihan rasa ketatanegaraan, dasar yang tersimpan pada azas Ketuhanan & adat pusaka,(2) meneruskan azas perwakilan atau perwakilan dalam persekutuan hukum 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, berbagai persekutuan serupa di Borneo, tanah Bugis, Ambon, Minahasa dan lain-lain, dan (3) kebijaksanaan (rasionalisme). Inilah dasar bagi sila peri kerakyatan.
- Teks M Yamin menggunakan istilah Negara Rakyat Indonesia, sebagai negara kebangsaan (etat national), negara persatuan, negara kesatuan berdasar faham unitarisme(bukan federal), satu kedaulatan rakyat yang harus dijunjung kepala negara, pemerintah daerah dan rakyat, yang menolak tatanegara yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan dan pikiran rakyat, menolak faham federalisme (semacam persekutuan negara-negara), feodalisme (susunan lama), monarkhi (kepala negara berturunan), liberalisme, autokrasi dan birokrasi, serta demokrasi Barat, menolak segala bentuk penjajahan kolonialisme, menolak faham pemerintahan istibdadi seperti firaun dan Namrud, pemerintahan Khila’ah atau kekuasaan golongan berilmu dan berhikmat, pemerintahan filsafatiyah yaitu kekuasaan cerdik pandai atas rakyat jelata, serta menolak menjadi negara boneka.
- NRI menjalankan pembagian pekerjaan negara dengan jalan desentralisasi dan dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara. Patut dicatat, bahwa semangat desentralisasi inilah muncul pada era reformasi NKRI 1998, yang menghasilkan tatanan pemerintahan daerah otonom.
- Pemerintahan berdasar permusyawaratan orang-orang berilmu & berakal sehat yang dipilih atas faham perwakilan. Pemusyawaratan, pemilihan dan pembaharuan pikiran menjadi dasar pengangkatan pengurus negara dan dasar segala pemutusan urusan negara.Negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat diperbaharui sesuai asas rasionalisme dan pembaharuan zaman, menjadi kaki susunan negara bagian bawah. Pemerimtah pusat disekeliling kepala negara terbagi atas Wakil Kepala Negara, satu kementerian sekeliling sorang pempimpin kementerian, Pusat Parlemen Balai Perwakilan yang terbagi atas Majelis dan Balai Perwakilan Rakyat.
- Yamin membuat konsepsi tentang budi pekerti negara yang berkomponen setia negara, tenaga rakyat dan kemerdekaan. Setia negara diproksi oleh moralitas setia dan rasa bakti kepada negara yang harus datang dari hati sanubari, percaya kepada tenaga rakyat. Kesetiaan kepada negara digambarkan oleh keinginan tiap insan untuk berkontribusi melalui peluh-keringat, kesediaan berjuang mengatasi kesukaran hidup dan kepahitan usaha. Tenaga rakyat digambarkan oleh perjuangan rakyat untuk Indonesia merdeka, setelah kemerdekaan berbakti kepada keselamatan negara sehingga negara Indonesia tetap berdiri selama-lamanya. Moral kemerdekaan akan memasuki segala urat nadi negara baru itu, berdasar budi pekerti, ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan beradab kebangsaan.
Gaya teatral menyebabkan kharisma kepemimpinan berkilauan dan menuai dukungan hadirin sidang, dan pada rapat besar tanggal 1 Juni 1945, pemuda Kusno atau Bung Karno menyatakan
- Dasar kefilsafatan Indonesia Merdeka adalah pundamen (sesuai tulisan masa tersebut), filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
- Merdeka berarti indipendensi secara politik, sebuah jembatan emas menuju sebuah masyarakat yang dicita-citakan bersama. Merdeka berarti tidak gentar untuk merdeka, merdeka tidak diberi syarat-syarat yang menghambat Indonesia merdeka sekarang, kecuali syarat berani merdeka, bumi, rakyat dan pemerintah. Soekarno menyatakan; Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata : mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan Negara Indonesia Merdeka ? (Seruan hadirin : Tidak! Tidak!). Manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan.
- Soekarno mengusulkan dasar pertama buat Indonesia adalah kebangsaan, sebuah Nationale Staat terdiri atas segerombol orang yang berkehendak bersatu, merasa dirinya bersatu, menyebabkan persatuan orang dan tempat.Karena itulah, negara nasional itu harus disetujui seluruh golongan. Soekarno berkata; yang saudara Yamin setujui, Ki Bagoes setujui, Ki Hadjar setujui, Sanoesi setujui, Abikoesno setujui, yang Lim Koen Hian setujui.
- Soekarno mengusulkan Internasionalisme sebagai dasar kedua untuk Indonesia, dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan sebagai dasar ketiga, prinsip kesejahteraan sosial berdasar demokrasi politik dan ekonomi sebagai dasar keempat, dan prinsip Ketuhanan sebagai dasar kelima, agar segenap agama mendapat tempat sebaik-baiknya.
- Soekarno mengusulkan istilah Panca Sila (Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, KeTuhanan), Tri Sila (Socio-Nationalisme, Socio-demokratie, KeTuhanan),atau Eka Sila (Gotong Royong).
- Soekarno membakar semangat ; Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad” Merdeka, – merdeka atau mati!”.
DINAMIKA POLITIK MENJELANG KEMERDEKAAN
Sejarah mencatat bahwa proklamasi disulut oleh gerombolan Sukarni dan gerombolan pelajar-pelajar, dibantu gerombolan Kaigun. Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945 ditulis Adam Malik pada tahun 1948 diterbitkan penerbit Widjaya Jakarta dalam berbagai edisi mulai tahun 1950. Bagi Adam Malik, 17 Agustus tercatat sebagai permulaan dari nyala revolusi Indonesia. Inilah cerita Adam Malik dalam buku tersebut.
Pada tahun 1924, Tan Malaka menulis buku berjudul Menuju Republik Indonesia di luar negeri dan secara ilegal disiarkan keseluruh kepulauan Indonesia, menjadi pedoman para pemimpin pergerakan dan perjuangan, menjadi penunjuk jalan membentuk sebuah masyarakat dan negara demokratis.
Partai Republik Indonesia (PARI) didirikan Subakat, Djamaludin Tamin dan Tan Malaka di Bangkok pada bulan Juni 1927.
Kongres pemuda dan Pelajar tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta memutuskan bahwa persatuan Indonesia atau unitarisme – bukan federalisme – yang menjadi dasar Indonesia Raya. Pada 23 April 1933, Kongres Partai Indonesia (Partindo) di Surabaya memutuskan bahwa seluruh pergerakan menuju pembentukan Republik Indonesia.
Pada bulan Maret 1942, kota Batavia diserahkan tentara kolonial kepada balatentara Jepang, disaksikan ribuan penduduk Jakarta. Kebijakan Jepang amat tidak konsisten. Sebagai misal, pada awal pemerintahan Jepang, pengibaran bendera Merah Putih diizinkan, kemudian pengibaran sang merah putih dilarang setelah pemerintah Jepang merasa telah menguasai keadaan dengan strategi ancaman bayonet. Pemerintah merekrut para tokoh gemar pujian, upah dan tempat tinggal, mendukung gerakan “Tiga A” Mr.Samsudin, lalu gerakan PUTERA.
Perencanaan versi Jepang tentang Indonesia Merdeka dibalas oleh rakyat dengan rencana Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yang berisi anggaran dasar Indonesia dan persiapan pembentukan Republik Indonesia, sebagai cikal bakal Mukaddimah UUD.
Agar rakyat Indonesia bersedia berjuang disamping Jepang melawan sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, Jenderal Besar Terauchi mengundang Soekarno-Hatta – sebagai pimpinan gerakan Jawa Hokodai – ke Saigon untuk peneguhan kembali rencana “ Kemerdekaan Hadiah “ yang telah diikrarkan Dai Nippon. Sebagian besar rakyat tidak percaya janji tersebut, dan para tokoh terbelah menjadi dua kelompok yang percaya dan kelompok curiga dan tidak percaya. Apabila Syahrir bersikap pasif, tak percaya “kemerdekaan hadiah “dan menjauhi segala sandiwara politik Jepang, Soekarno-Hatta bersedia ke Saigon karena melihat peluang politis bahwa Indonesia dapat merdeka dengan jalan bekerjasama dengan Jepang. Bom atom dijatuhkan ke kota Hiroshima menyebabkan tanggal 14 Agustus pukul 12 siang Kaisar Jepang Hirohito mengumumkan pemberhentian perang dan menyatakan menyerah kepada sekutu, menyebabkan munculnya hasrat gerombolan Sukarni, gerombolan pelajar dibantu gerombolan Kaigun untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan, bukan kemerdekaan dihadiahkan.
Menuju tahun 1945, sepanjang empat puluh tahun gerakan revolusioner telah berjalan. Pada era pendudukan Jepang tersebut, terdapat beberapa golongan tenaga-tenaga revolusioner yang tidak dapat membentuk organisasi massa atau organisasi politik resmi, tersebar pada berbagai posisi, di dalam atau di luar pemerintahan Jepang, aktif atau pasif, pada umumnya secara tersembunyi, antara lain adalah menggerakkan murba teratur (rakyat, buruh, tani), gerombolan Sukarni yang mendirikan Angkatan Muda dan Angkatan Baru, gerakan Kebaktian Hokookai (Soekarno-Hatta), gerombolan Syahrir, gerombolan pelajar (Chairul Saleh, Djohar Nur, Darwis, Kusnandar, Subadio Sastrosatomo, E.Sudewo, Baharrazak, Cenan, Abubakar, Rasyid Siregar,Wahidin, Ratulangi dll), gerombolan Kaigun (Mr. Subarjo, Sudiro (Mbah), Wikana, E. Chairuddin, Joyopranoto dll).
Penjajahan fisik pada umumnya bermotif ekonomi, dominasi ekonomi dilakukan oleh grup bisnis melalui angkatan bersenjata. Pada tataran politik Jepang, terdapat dua kubu kekuatan yang mendominasi angkatan perang dan sejarah kemerdekaan RI, yaitu gerombolan Kaigun atau tenaga revolusioner yang bekerja pada AL Jepang dan Rikugun untuk AD Jepang sebagai penguasa wilayah Jawa-Madura. AL Jepang beraliansi strategis dengan grup usaha Mitsubishi dan Sumitomo, sedang AD Jepang berkawan-kawan dengan grup usaha Mitsui. Persaingan grup usaha tersebut diatas diproksi oleh permusuhan antara AL dan AD; apabila Jawa-Madura adalah wilayah kerja AD, maka AL beraksi meyebar mata-mata pada wilayah Jawa-Madura dan menjadi pengacau segala kegiatan AD tersebut. Demikian sebaliknya.
Karena AL Jepang mendapat pukulan keras pada medan perang Sulawessi, Selat Makassar, Balik Papan dll, maka gerombolan Kaigun menghendaki realisasi “ kemerdekaan hadiah”, menyelenggarakan pertemuan antara pembesar AL dan Pemimpin Indonesia yang bekerja pada AL Jepang pda 10 sampai 12 Agusstus 1945 di Kebon Sirih, Jakarta, dan Kaigun menyatakan akan mendesak Panglima Besar Tentara di Jawa secepatnya meresmikan “kemerdekaan hadiah“ tersebut.
Pada pukul 20 tanggal 15 Agustus, Khairul Saleh memimpin pertemuan gerombolan Sukarni, pelajar dan Kaigun, sepakat bahwa (1)kemerdekaan harus bukan kemerdekaan hadiah, tetapi harus melalui proklamasi kemerdekaan, (2) mengajak Bung Karno-Hatta untuk penghabisan kalinya ikut menyatakan proklamasi. Pertemuan 15 Agustus dihadiri Darwis, Johar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit, Sunyoto, Abubkar, E. Sudewo, lalu disusul kedatangan Wikana dan Armansyah. Rapat mengutus Wikana dan Darwis menemui Bung Karno- Hatta, Johar Nur bertugas menyusun persiapan proklamasi, dan perundingan final akan dilaksanakan di Jalan Cikini 71.
Pada pukul 22, Wikana dan Darwis menghadap kepada Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 untuk menyampaikan hasil perundingan Pegangsaan di atas, dan Bung Karno menyatakan belum percaya akan penyerahan Jepang sebelum pihak resmi (Gunseikan atau Soomubuco) menyampaikan hal itu. Bung Hatta yang datang kemudian menyatakan hal yang sama, ditambah pernyataan bahwa Sukarno-Hatta tidak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mengumumkan proklamasi. Pukul 11.30 malam kedua utusan meninggalkan Pegangsaan Timur.
Perundingan Cikini dimulai pukul 24 lebih dipimpin Khairul Saleh, dan utusan melapor, menghasilkan berbagai reaksi dan usulan hadirin. Sukarni dan J.Kunto mengusulkan
- Kemerdekaan dinyatakan oleh rakyat tanpa ditunda
- Bung Karno & Hatta dibawa kedaerah kekuasaan Peta, yaitu tangsi Rengas Dengklok, agar (1) tidak digunakan oleh Jepang sebagai sandera dan menekan rakyat, dan (2)untuk disiagakan menghadapi konsekuensi paska proklamasi.
Bung Hatta dijemput pukul 4 pagi tanggal 16 Agustus oleh Sukarni dan kawan-kawan, Bung Karno dijemput pukul 4.30 oleh Dr.Muwardi bersama Khairul Saleh dan D.Asmoro, dengan sedikit perlawanan non fisik, keberatan, perbantahan dan kecurigaan. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa pemuda ke Rengas Dengklok, kediaman keluarga Djiauw Kie Siong, sebuah rumah bersejarah yang sampai hari ini dipelihara pemerintah NKRI sebagai aset bersejarah)[5]. Di Rengas Dengklok Bung Karno mendapat tekanan dan tetap ragu tentang penyerahan Jepang, sehingga Sukarni mengutus J.Kunto melapor dan berunding dengan gerombolan-gerombolan di Jakarta. Pukul 16 sore J.Kunto berangkat kembali ke Rengas Dengklok membawa Mr.Subarjo dan Sudiro (Mbah) dan ditolak Sukarni tatkala Mr.Subarjo menyatakan kedatangannya mewakili gerombolan Kaigun. Mr. Subarjo iizinkan bertemu Sukarno-Hatta setelah menjelaskan bahwa (1) dirinya datang mewakili gerombolan Kaigun, bukan atas nama Kaigun (Jepang), (2) bahwa benar ada penyerahan Jepang remsi kepada Sukarno-Hatta, dan (3) rakyat siap sedia melakukan proklamasi.
Dalam beberapa menit Mr. Subarjo berhasil meyakinkan Sukarno-Hatta, yang kemudian menyatakan bersedia menandatangani proklamasi kemerdekaan itu, dengan syarat ditandatangani di Jakarta. Sukarni keberatan tanda tangan tersebut di Jakarta, namun Mr.Subarjo kembali berhasil meyakinkan Sukarni. Drama Rengas Dengklok selesai, rombongan berangkat ke Jakarta pukul 22 Malam tanggal 16 Agustus 1945. Rombongan tiba di Jakarta, Oranje Nassauboulevard, rumah Laksmana Maeda kira-kira tengah malam, disambut B.M.Diah, Semaun Bakri, Sayuti Melik dan Iwakusuma Sumantri. Sukarni dan kawan-kawan lalu menuju ke Jalan Bogor Lama untuk menjemput Khairul Saleh, Adam Malik, Wikana, Pandu Wiguna, M.Nitimuharjo, Kusnaeni dan Syahrir untuk menyaksikan penandatanganan naskah proklamasi. Namun petugas saksi ditunjuk adalah cukup Sukarni dan Khairul Saleh.
Pembicaraan kata-kata proklamasi dilakukan mulai pukul 1.30 tanggal 17 Agustus dengan perbedaan pendapat, pengawalan keras dan emosional Sukarni dan Khairul Saleh.
Pada pukul 2 tanggal 17 Agustus, Bung Karno & Hatta menandatangani naskah proklamasi ataas nama rakyat Indonesia, disaksikan Sukarni, Kairul Saleh, Mr.Subarjo, Mr.Iwakusuma Sumantri, Sudiro (Mbah), B.M.Diah dan Sayuti Melik.
Di antara pukul 2 sampai pagi, golongan pelajar, golongan Sukarni dan Golongan Kaigun segera bergerak cepat melakukan pencetakan dan penyebaran selebaran, siaran dan pengumuman proklamasi di mana-mana, bahwa rakyat dikerahkan untuk mendengar sendiri pembacaan proklamasi pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus oleh Bung Karno di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur. Rakyat datang menghadiri proklamasi dengan golok dan bambu runcing, karena kempetai (polisi rahasia) mengumpulkan kembali selebaran terdistribusi di jalan-jalan mungkin juga hadir pada saat proklamasi. Proklamasi telah meletus, jalan-jalan penuh selebaran dibersihkan kempetai adalah sia-sia, karena segera dipenuhi selebaran baru. Melalui kantor berita “Domei”, kaum buruh menyiarkan proklamasi ke seluruh Indonesia dan dunia dengan radio-gelombang-pendek.
Pimpinan militer Jepang di Jakarta membuat pengumuman ralat bahwa pengumuman proklamasi merupakan kekeliruan, dan dunia mempersepsi sebagai awal perjuangan kemerdekaan paska proklamasi.
Kembali pihak Jepang menekan Sukarno – Hatta untuk melanjutkan serial rapat PPKI dan meneruskan program “Kemerdekaan Hadiah”. PPKI mengadakan rapat tanggal 23 Agustus 1945, dan menambah anggota PPKI dengan enam orang, antara lain Sukarni, Wikana, dan Khairul Saleh. Pada persidangan, Sukarni dan Wikana menarik Khairul Saleh keluar dari sidang karena tidak setuju akan pembentukan republik diselenggarakan pihak Jepang. Rapat memutuskan pembentukan pemerintah Republik, penetapan UUD dan penetapan sementara Sukarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Tiga golongan pemuda- yaitu gerombolan Sukarni, gerombolan Pelajar-Pelajar dan gerombolan Kaigun – bersiap-siap untuk konflik fisik dengan Jepang, mendirikan markas di Def. Van den Bosch 56, pindah ke pusat “Beperpi” Cikini, pindah ke Asrama Kaigun Kebon Sirih, dan pada tanggal 19 Agustus menetapkan asrama sekolah Kedokteran Tinggi di jalan Prapatan 10 sebagai markas, lalu memanggil Sukarno, Hatta, Mr Kasman dan St.Syahrir untuk perencanaan strategis, antara lain
- Adam Malik sebagai wakil pemuda-pemuda menyatakan bahwa perebutan kekuasaan harus diatur dan dilaksanakan secara cepat, tidak menggunakan hampiran kompromistis apalagi belas kasihan Jepang.
- Pendirian lembaga tentara RI yang berasal dari mantan Peta dan Heiho, tetapi kemudian menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR) karena oposisi Jepang.
Jepang bereaksi atas keputusan tersebut, melucuti senjata barisan Peta dan Heiho dan menyruh barisan pulang ke wilayah asal masing-masing. Para pemuda berpaling kepada St. Syahrir, mengundang yang bersangkutan untuk rapat tanggal 22 Agustus jam 22 malam di Prapatan 10, dan Adam Malik sebagai pimpinan rapat menjelaskan maksud undangan rapat adalah untuk pembentukan Komite Nasional yang bertanggungjawab disamping Presiden & Wakil Presiden. Syahrir berpidato untuk menjelaskan cetak biru kenegaraan sambil menyatakan dirinya tidak sanggup memimpin KN[6]. Markas Prapatan 10 terinfiltrasi berbagai unsur liar perjuangan dan makin tak terkendali.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Pemerintah RI dan Kabinet-Presiden I telah terbentuk, namun tanpa kegiatan nyata.
Sukarni, Wikana dan Khairul Saleh memisahkan diri dari kumpulan Prapatan 10 tersebut, menyusun organisasi baru disebut Komite van Aksi di Menteng 31 untuk menjaga NKRI dan rakyat yang telah merdeka, memastikan segala kekuasaan harus ditangan negara dan bangsa Indonesia, Jepang tidak mempunyai hak menjalan kekuasaan, rakyat Indonesia harus merebut senjata, kantor, pabrik, tambang, kebon dan lain-lain dari tangan Jepang. Komite mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Barisan Rakyat Indonesia (B.A.R.A) untuk menghimpun massa petani di kampung-kampung, Barisan Buruh Indonesia (B.B.I) untuk menghimpun massa buruh, yang disambut meriah oleh rakyat. Khairul Saleh memberi teladan dengan melarikan sebuah mobil di Gambir Timur 9, menyebabkan hampir seluruh mobil jatuh ke tangan Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Rapat Buruh Kereta Api tanggal 2 dan 3 September memutuskan agar Komite van Aksi merebut Jawatan KA pada tanggal 3 September, mengangkat Direksi dan Pimpinan KA, yang selesai pada pukul 13 siang. Kegiatan ini menjadi bola salju untuk merebut trem, peredaran film dan ratusan perusahaan lain. Gerakan Menteng 31 kemudian menjalar ke berbagai kota besar lain, misalnya P.R.I di Surabaya, Ampri di Semarang.
Rapat akbar Taman Ikada tanggal 19 September berhasil melebur segala komponen bangsa untuk bersatu, dilanjutkan berbagai arak-arakan dan demonstrasi sampai malam hari. Jepang menggelar strategi barikade tank dan pertahanan pada tiap sudut atau simpang jalan, penggrebekan markas Menteng 31 pada tanggal 20 September, memenjarakan Darwis, Sidik, Hanafi, Aidit, A.Manafroni, Wahidin dan Lukman di penjara Bukit Duri, juga menangkap dan memenjarakan Adam Malik dua hari kemudian. Larangan memasang bendera Merah-Putih mendorong rakyat memasang bendera, Kusnandar melakukan aksi pamflet dan siaran radio, terjadi kontak fisik antara rakyat yang meluap dengan polisi rahasia Jepang meminta banyak kurban jiwa. Terjadi berbagai insiden bendera di berbagai kantor dan instansi pemerintahan, berturut turut di Jawatan Listrik, Jawatan Gas dan Departemen Keuangan; setiap penurunan bendera Merah Putih diganti bendera Dai nippon, segera terjadi pengibaran bendera Merah Putih baru yang lebih besar. Terjadi kesepakatan massal, aksi penurunan bendera Merah Putih disambut rakyat dengan bambu runcing dan golok.
KNI dibentuk berdasar UUD Peralihan oleh Presiden & Wakil Presiden bersama kaum intelektual cq prof. Dr.Sarono dan Dr.Muradi dan golongan Pemuda Menteng 31, pada rapat tanggal 16-17 Oktober memilih St.Syahrir – yang diambil dari rumahnya atas permintaan Nonya Mangunsarkoro, Sukarni dan Subadio – sebagai pimpinan K.N.I Pusat. Pada tanggal 26 November 1945, KNI mengusulkan pertanggungjawaban kementerian dan susunan Dewan kementerian yang baru. Sejarah mencatat bahwa Presiden menunjuk Syahrir sebagai Perdana Menteri.
Dan RI masuk kepada episode menghadapi serangan Belanda dalam sekutu, sampai pada perjanjian Den Haag.
PENUTUP DAN EPILOG
Sejarah mencatat nama Sukarno dan Sukarni, Khairul Saleh serta berbagai tokoh perjuangan lain yang membentuk NKRI. Sejarah mencatat M.Natsir mengembalikan bentuk NKRI dari bentuk negara federasi menjadi negara kesatuan pada tahun 1950.
Kecuali Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, para pemimpin masyarakat Indonesia Bagian Timur aktif berperan dalam proses pembentukan dan pengesahan UUD 45, namun tidak dapat secara langsung membela negara RI karena daerah luas itu berpenduduk sedikit, sehingga Indonesia bagian Timur dikuasai NICA (Netherlands Indies Civil Administration) sesuai Civil AffairAgreement antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. Sejarah mencatat bahwa Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan melakukan perlawanan hebat, sehingga pihak Belanda menugasi Kapten Raymond “Turk” Westerling yang brutal. Negara-negara bagian Kerajaan Belanda tersebut melakukan protes keras atas agresi militer kedua 19 Desember 1948, ikut memprakarsai Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta bulan Juli 1949, mendukung pengembalian Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pembuangan di pulau Bangka, bergabung dalam BFO (Bieenkomst Federal Overleg), membantu delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Meja Bundar di Negeri Belanda. Karena itulah RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, baru diakui internasional tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag & Jakarta sebagai negara federal, dan (kembali) menjadi bentuk negara kesatuan RI pada bulan Agustus 1950.
Dua tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pengakuan (serentak di Den Haag & Jakarta) kedaulatan RI terjadi pada 27 Desember 1949 pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag sebagai Negara Federal Republik Indonesia Serikat. Lalu rakyat negara-negara bagian menuntut agar negaranya bergabung dengan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus berhasil mengurangi jumlah negara-negara bagian menjadi tiga, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Pada bulan Agustus 1950, tampil Mosi Integral dari Muhamad Natsir di DPR RI, menyebabkan DPR kembali kebentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saudaraku, mari kita isi kemerdekaan dengan karya-karya pengabdian.
[1] Halaman 115 Risalah Sidang BPUPKI & PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945.
[2] Hal xx,Kata Pengantar Tim Penyunting untuk Edisi keempat.
[3] Hal xxii, Kata Pengantar Tim Penyunting untuk Edisi keempat.
[4] Hal xv, Risalah sidang BPUPKI & PPKI, Sekretariat negara RI, 1998
[5] Koreksi dan tambahan makalah ini oleh Hans Kartikahadi, seorang tokoh IAI, akuntan publik senior dan pengajar FEUI senior.
[6] Adam Malik dalam buku tersebut (halaman 85) menduga Syahrir menunggu momentum tepat bagi KN, yaitu kedatangan sekutu.