AKUNTANSI FASILITAS SOSIAL DAN UMUM


PENDAHULUAN

Pengembang (developer) mendapat Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah (SIPPT), untuk wilayah DKI sebesar 5.000 meter persegi atau lebih bagi bisnis real estatnya, dengan syarat menyediakan prasarana dan sarana sosial dan umum. Penyediaan tersebut diikuti dengan kewajiban menyerahkan fasilitas tersebut kepada pemerintah daerah pemberi izin, pada umumnya setelah proyek pengembangan selesai dan pengembang mohon diri dari kawasan tersebut. Kewajiban pengembang dinyatakan pada SIPPT, dokumen Pemda yang lain, dan Perjanjian Pemenuhan Kewajiban (PPK).

 

FENOMENA PENGEMBANG INGIN MENYERAHKAN SEDINI MUNGKIN, SEBALIKNYA  PEMDA ENGGAN MENERIMA FASOS FASUM

Sebagian pengembang membangun fasos fasum yang perlu untuk dirinya sendiri, sehingga terpaksa membangun fasilitas tersebut pada awal proyek. Sebagai misal, jalan akses ke kawasan real estat dibutuhkan pengembang untuk jalan masuk alat berat, kendaraan berat dan bahan bangunan. Pada waktu jalan akses ke kawasan real estat tersebut selesai, maka sebuah daerah terkucil (bukan terpencil) dapat diakses oleh pengembang dan publik.  Desa desa dan hunian penduduk disamping kawasan real estat mendapat akses dari dan ke jalan protokol. Perekonomian desa bangkit. Karena proyek pengembangan belum selesai, pada umumnya, jalan akses tersebut masih menjadi milik real estat, belum diserah terimakan kepada Pemda, karena itu biaya pemeliharaan jalan, sungai dan gorong gorong tepi jalan ditanggung oleh entitas real estat. Pemda menghindar/menunda serah terima fasos fasum untuk berhemat APBD dan masyarakat menikmati fasos fasum tersebut. Karena itu, sebagian Pemda merasa berbahagia apabila fasos fasum dibangun real estat, dipelihara real estat, digunakan oleh developer, dinikmati penduduk sekitar realestat, tanpa menambah beban APBD untuk pemeliharaan fasos fasum. Kaarena itu, sebagian Pemda merasa tidak berbahagia tatkala menerima fasos fasum, karena konsekuensi pemeliharaan fasos fasum menjadi bebab APBD.

Motif lain pembangunan fasos fasum pada awal proyek pengembangan kawasan hunian atau kawasan industri adalah sebagai sarana pemasaran perusahaan pengembang; bahwa keberadaan fasos fasum tersebut menyebabkan tanah dan bangunan dipasarkan pengembang diminati publik. Janji membangun fasos fasum sungguh tak cukup,tanpa (pembuktian)  keberadaan (eksis tensi)  fasos fasum, masyarakat kurang berminat tinggal atau berusaha pada kawasan itu.

Pada saat sebuah kawasan real estat  selesai dibangun dan terjual, perusahaan pengembang akan mengundurkan diri sebagai penguasa kawasan yang bukan lagi miliknya. Karena itu, fasos fasum kawasan yang bukan miliknya lagi tersebut akan berstatus tak bertuan, apabila tak diserahkan kepada Pemda. Inilah dasar pikiran, mengapa serah terima fasos fasum dari pengembang kepada Pemda, adalah pada akhir proyek, seperti pada umumnya diatur pada dokumen SIPPT dan Berita Acara Serah terima (BAST). Untuk sebuah pengembangan kawasan berdurasi  panjang, misalnya 20 tahun, pada kenyataannya berbagai fasos fasum telah beberapa kali mengalami peremajaan dengan biaya pengembang, disamping menghabiskan biaya pemeliharaan. Karena itu, bentuk, jumlah dan kondisi fisik yang diperjanjikan dalam SIPPT diperiksa Pemda lebih dahulu, sebelum serah terima.  Pemda dapat menggunakan jasa appraisal indipenden untuk menilai kondisi fasos fasum. Apabila suatu fasos fasum telah hancur atau rusak berat dimakan tahun – tahun pengembangan nan panjang, maka Pemda menolak serah terima, dan pengembang berkewajiban memperbaiki lebih dahulu agar layak serah terima. Itulah sebabnya SIPPT mengatur serah terima fasos fasum pada akhir proyek pengembangan.

 

SURAT IZIN PENUNJUKAN PENGGUNAAN TANAH (SIPPT)

Sebuah SIPPT atau perpanjangan SIPPT mengandung elemen sbb

  • Mengajukan permohonan hak atas tanah yang telah dibeli/dibebaskan kepada BPN setempat
  • Surat kepada Kantor Wilayah BPN untuk merekomendasikan SIPPT
  • Hasil rapat Pimpinan Tim pertimbangan Urusan Tanah (Rapim TPUT)
  • Kalimat persetujuan atas permohonan pengembang
  • Ketentuan yang harus dipatuhi pengembang, terutama adalah
    • Peta Situasi pengukuran dari Suku Dinas Tata Ruang
    • Luas tanah hasil ukur
    • Daftar peruntukan berdasar luas tanah, misalnya luas perkantoran, luas hunian, luas untuk bangunan fasos fasum, jalan kawasan dan taman
    • Retribusi
    • Kontribusi intensitas kewilayahan
    • Luas marga jalan dan segala kepengkapan/fasilitas terkait marga jalan yang akan diserah terimakan kepada pemda
    • Kewajiban membangun jalan akses, dari jalan umum ke kawasan real estat
    • Kewajiban menyediakan ruang terbuka hijau (RTH)
    • Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/ Lahan (SP3L)
    • Kewajiban fasos fassum sesuai peraturan perundang undangan
    • Penyediaan kantin bagi pedagang kaki lima pada kaasan perkantoran dan niaga
    • Penyediaan prasarana/sarana pemilahan sampah, instalasi pengolahan limbah berbasis kajian Amdal, kajian lalu lintas, sistem tata air, melunasi PBB, memperoleh Ketetapan Rencana Kota (KRK),  Rencana Tata Letak Bangunan (RTLB), pembuatan Titik Tetap bagi kawasan hunian.
    • Mendapat pertimbangan Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK), Tim penasihat Konstruksi Bangunan (TPKB), Tim Penasihat Instalasi Bangunan (TPIB).
    • Mendapat rekomendasi ketinggian tanah (batas ketinggian minimum anti banjir) dari Dinas Pekerjaan Umum setempat, sebagai dasar IMB.
    • Sertfikat Laik Fungsi
    • Menanggung segala biaya notaris untuk berbagai dokumen tersebut di atas.
    • Menanggung segala biaya perkara hukum atas SIPPT
    • Memperoleh IMB berdasar KRK dan RTLB
    • Pemagaran tanah ber SIPPT dan tanaman pelindung
    • Melaporkan pemindahan fasos fasum bawah tanah dan atas tanah kepda instansi terkait
    • Perjanjian Pemenuhan Kewajiban pemegang SIPPT atau pembaharuan SIPPT terkait luas marga jalan, kontribusi tambahan, jalan akses, RTH, SP3L, fasos fasum, kantin PKL, laan sarana/prasarana sampah, kajian Amdal, Kajian Manajemen & Rekayasa Lalu Lintas, Sistem Tata Air, dan PBB.

Pasal pasal perjanjian pemenuhan kewajiban mencakupi :

  1. Obyek perjanjian
  2. Persyaratan pembangunan
  3. Pelakasanaan pembangunan
  4. Hak & kewajiban Pihak Pertama
  5. Hak & kewajiban Pihak Kedua
  6. Serah terima dan kesepakatan bentuk BAST
  7. Sanksi bagi tiap pihak
  8. Force mayeur
  9. Jangka waktu perjanjian
  10. Peninjauan kembali perjanjian
  11. Pengawasan dan pengendalian teknis
  12. Biaya biaya
  13. Pemberitahuan (korespondensi)
  14. Kedudukan hukum pihak dan penyelesaian perselisihan
  15. Perjanjian tambahan (adendum)
    • Alamat surat menyurat antar pihak
    • Penyelesaian perselisihan
    • Pembatalan SIPPT

 

BERITA ACARA SERAH TERIMA

BAST ditandatangani penyerah (pengembang) dan penerima (pemerintah) fasos fasum, terutama tanah marga jalan. BAST dilegalisasi Notaris.

Tanah marga jalan dilengkapi penjelasan

  • Luas tanah marga
  • Nilai dalam Rupiah, berdasar Laporan Penilai indipenden
  • Jenis yang diserahkan, misalnya konstruksi marga jalan dengan hot mix dan keterangan luas marga jalan, luas trotoar,luas saluran, IMP dan KRK.

BAST adalah bukti perpindahan hak milik dan/atau penguasaan atas fasos fasum, dari perusahaan pengembang ke pemda, sesuai Paragraf 19 PSAP 07 yang menyatakan bahwa saat pengakuan aset oleh pemerintah adalah saat serah terima fisik dan bukti kepemilikan atas aset, misalnya sertifikat tanah dan IMB. Pada saat menerima fasos fasum tersebut, pemerintah penerima mencatatnya sebagai aset pemerintah dan sebagai pendapatan hibah fasos fasum, sesuai Paragraf 19 PSAP 12.

Akuntansi hibah menyatakan bahwa aset hibah diterima dapat dicatat berdasar nilai wajar, misalnya hasil penilaian perusahaan penilai indipenden (appraisal company). Apabila Pemda  atau pengembang tidak menggunakan penilai indipenden, nilai wajar dapat ditaksir sendiri oleh pengembang bersama Pemda; untuk tanah adalah luas tanah dan harga pasar tanah saat serah terima, untuk bangunan sebesar bangunan (misalnya luas lantai, luas dinding, luas atap dll) dan biaya konstruksi bangunan per meter persegi sesuai kualitas bahan baku. Pada hemat saya, nilai dalam satuan mata uang fasos fasum tak seberapa penting bagi akuntansi aset Pemda yang tidak diperjual belikan, atau bagi neraca Pemda yang tidak bermaksud menerbitkan obligasi pemda.

 

AKUNTANSI FASILITAS SOSIAL DAN UMUM

Pertanyaan mendasar, apakah fasos fasum yang telah habis disusut pengembang dan diserah terimakan kepada Pemda, masih layak masuk akuntansi dan aset Pemda ?

Untuk kepentingan masyarakat, fasos fasum disediakan oleh pengembang sebagai kelengkapan kawasan real estat. Kita sama mafhum bahwa  SIPPT dibuat Pemda dengan memperhatikan cetak biru tata kota masa depan. Didalamnya termaktub jalan, sungai, jembatan, gorong-gorong, saluran air PDAM, saluran  kabel listrik,  kantor polisi, puskesmas, rumah ibadah dan lain lain.

Harga tanah setiap tahun meningkat, tak ada kepastian perusahaan real estat membangun sebuah fasos fasum yang diperjanjikan dalam SIPPT, serah terima fasos fasum terjadi puluhan tahun kemudian dari tanggal SIPPT, yaitu pada saat pengembangan selesai dan pengembang hengkang mohon diri dari Pemda tersebut.  Karena kondisi permintaan pasar real estat  di masa depan tidak pasti, maka konversi proyek (100%) menjadi uang masuk juga tidak pasti.  Tahun proyek selesai  dan terjual habis tidak pasti. Karena itu, pada SIPPT pada umumnya tidak tercantum nilai fasos fasum yang akan diserahterimakan.

Sebagai misal, jalan di dalam kawasan real estat untuk sebagian industrial esate adalah boulevard, jalan utama kawasan hunian sedapat mungkin boulevard. Pengembang berupaya membangun dengan efisiensi lahan, agar laba optimal, menyebabkan jalan didalam realestat sempit dan kurang berkualitas, saluran air, puskemas, kantor polisi menyedihkan, karena memang tak  diatur secara rinci dalam SIPPT oeh Pemda tak bervisi.

Pada umumnya, SIPPT memberi keterangan umum fasos fasum tentang unit dan luas saja, sehingga harga perolehan tak dapat ditaksir. Sebagai misal, campuran semen pasir untuk fasos fasum, gambar biru rumah ibadah, puskesmas dan sekolah dasar, apalagi kualitas ubin, sarana sanitasi kamar mandi, tak lazim terdapat pada SIPPT. Makalah ini menyarankan agar aspek SIPPT tentang fasos fasum yang akan diserahterimakan kepada Pemda, disusun secara lebih rinci pada Perjanjian Pemenuhan Kewajiban Pengembang Selaku Pemegang SIPPT.

Karena kondisi terwsebut di atas, hak tagih atas fasos fasum bernilai (rupiah) tak pasti, bertahun serah terima tak pasti, tak dapat dicatat pada Neraca pemda saat penerbitan SIPPT. Karena CALK tidak melarang, hak terkait SIPPT dapat diungkapkan pada CALK Pemda.

Pengungkapan SIPPT & fasos fasum pada CALK memenuhi azas keterbukaan paripurna (full disclosure), menimbulkan kesadaran Pemda untuk menagih fasos fasum bila proyek real estat telah selesai.

Apabila terjadi force majeur, pengembang pailit, proyek pengembangan terhenti ditengah jalan, hendaknya CALK tentang fasos fasum tersebut dikeluarkan dari LK periode selanjutnya.

 

PENUTUP

Akuntansi serah terima fasos fasum merupakan fenomena akuntansi pemerintahan yang membutuhkan perlakuan khusus. Neraca Pemda sebaiknya menghindari masuknya fasos fasum yang tak bernilai ekonomi dan/atau sosial.